Berbahagialah kaum muslimin yang memiliki anjuran untuk berhijrah dari Allah SWT yang bermakna luas. Dalam kitab Hijrah dalam Pandangan Al-Qur’an, Ibnu katsir memakai hijrah bahwa manusia itu harus segera kembali kepada (menaati) Allah. Ini artinya, hijrah secara maknawi adalah berbuat kebaikan kepada sesama atau meninggalkan sesuatu yang dilarang dalam konteks luas.
Kita melihat negeri kita yang begitu subur membentang dari Sabang sampai Marauke namun masih jauh dari kemakmuran. Meskipun berlimpah sumber daya alam, namun hasilnya belum bisa membuat rakyatnya hidup sejahtera. Sebagian dari pemimpin negeri ini justru asyik memperkaya diri meskipun sebagian pemimpin lain berupaya bekerja keras agar bangsa ini bisa hidup layak dengan kepala tegak. Sungguh ironis, namun inilah sebuah fakta yang tiap hari kita saksikan.
Padahal negeri ini berpenduduk mayoritas muslim yang Nabinya telah mengajarkan tentang prinsip ekonomi dan hubungan sosial antarsesama muslim. Dalam Islam-lah dianjurkan bahwa seorang muslim harus lebih baik dari hari ke hari. Dicontohkan pula oleh para sahabat r.a. yang menekankan pentingnya seseorang muslim memiliki etos kerja yang tinggi guna untuk meraih kesejahteraan. Tidak ada sedikit ruang pun yang tidak tersentuh oleh nilai – nilai Islam yang juga berlaku secara universal dalam awal masa hijrah tersebut. Sebuah pondasi yang disampaikan ketika Rasulullah saw. hijrah dari Mekkah ke Madinah.
Berkaitan dengan hal tersebut, ada sebuah hadits dari Rasulullah saw.,”Orang yang paling dicintai oleh Allah ‘Azza wa jalla adalah yang paling banyak memberi manfaat kepada orang lain. Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah kesenangan yang diberikan kepada sesama muslim, menghilangkan kesusahannya, membayarkan utangnya, atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh, aku berjalan bersama salah seorang saudaraku untuk menunaikan keperluannya lebih aku sukai daripada beri’tikaf di masjid ini (Masjid Nabawi) sebualn lamanya. Barang siapa berjalan bersama salah seorang saudaranya dalam rangka memenuhi kebutuhannya sampai selesai, maka Allah akan meneguhkan tapak kakinya pada hari ketika semua tapak kaki tergelincir. Sesungguhnya akhlak yang buruk akan merusak amal sebagaimana cuka yang merusak madu.” (HR. Ibnu Abid-Dunya dengan sanad hasan).
Ingatlah ketika kaum Muhajirin yang tiba di Madinah, mereka justru disambut dengan tangan terbuka oleh kaum Anshar yang menawarkan segala keperluan bagi kaum Muhajirin. Kaum Muhajirin justru menolak tawaran mulia tersebut dengan sopan. Mereka ingin berusaha sendiri dengan tangannya. Di satu sisi, kaum Anshar ingin membantu kesulitan saudaranya, sedangkan kaum pendatang, memiliki kemuliaan dan motivasi yang kuat untuk hidup mandiri. Begitulah kekuatan iman dan mental para sahabat yang telah dibina Nabi saw. selama 13 tahun yang begitu mulia menyikapi hidupnya.
Bangsa Indonesia bisa merunut kepada kisah yang terjadi di awal tahun hijriah tersebut. Bagaimana Islam mengajarkan ummatnya agar saling membantu dan bermanfaat untuk sesama. Kaum muslimin ketika itu saling membantu agar saudaranya dapat menikmati makanan dan tempat tinggal yang layak.
Lihatlah potret bangsa ini yang telah maju pesat dengan teknologi, namun di sisi lain banyak di sebagian penjuru negeri ini masih berkubang kelaparan. Menurut data BPS tahun 2013, penduduk miskin dan rawan pangan negeri ini masih sekitar 12%, sekitar 29 juta orang yang masih sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup dasarnya yakni pangan. Padahal, potensi negeri ini begitu besar. Negara terbesar ke-2 di dunia yang memiliki keanekaragaman hayati ini memiliki jenis bahan pangan yang sangat banyak.
Karena itu sangat disayangkan apabila bangsa ini justru menjadi pengimpor beras terbesar no. 3 di dunia, pengimpor gandum terbesar ke-2 di dunia. Dua komoditas yang sebenarnya bisa diganti dengan bahan pangan lain. Khusus beras, bahan pangan itulah yang menurut survei BPS 2013, masuk dalam daftar komoditas yang memberi pengaruh besar pada kenaikan garis kemiskinan.
Kedaulatan dan Kemandirian Pangan
Sejak sekarang, bangsa ini harus memiliki komitmen yang kuat berdaulat dan mandiri untuk hal yang paling esensi yakni ketahanan pangan. Bila bangsa ini sudah berdaulat dan mandiri, bangsa ini akan menjadi bangsa yang kuat. Seperti yang pernah diucapkan Bung Karno puluhan tahun silam, “Bila ketahanan pangan suatu bangsa dapat terjaga dengan baik, niscaya kedaulatan negara tersebut akan terpenuhi. Namun sebaliknya, bila ketahanan pangan diabaikan, tentu bangsa ini akan menjadi bangsa yang lemah.”
Sesuai dengan cerita yang diperlihatkan Rasul dan para sahabat di atas, kaum muslimin di Indonesia juga harus hidup mandiri, bukan menjadi negeri pengimpor bahan pangan dalam jumlah yang besar. Apalah jadinya jika setiap kebutuhan pangan untuk bangsa ini harus diselesaikan dengan impor.
Kita harus memberdayakan para petani di seluruh negeri untuk menyediakan aneka bahan pangan lokal guna memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya. Ketahana dan kemandirian pangan itu memberi pengertian bahwa kita juga harus mengubah pola pikir (mindset) bahwa makan pokok itu tidak harus nasi dari padi. Indonesia yang beragam budaya dan pola makan pun jangan lantas ikut-ikutan untuk hanya mengonsumsi satu jenis makanan pokok saja. Negeri ini memiliki puluhan jenis bahan pangan yang bisa dikonsumsi sebagai makanan pokok. Ini yang harus dipahami oleh bangsa kita agar kita memiliki kedaulatan dan kemandirian dalam hal pangan. Bukankah para sahabat terdahulu pun memiliki kedaulatan dan kemandirian dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Para sahabat adalah contoh terbaik yang telah memberikan teladan untuk hidup mandiri bagi kita.
Kedaulatan yang sejalan dengan Islam telah diterapkan juga oleh beberapa negara dunia. Setiap bangsa bisa menentukan kebijakan pangannya sendiri, negara menjamin hak atas pangan bagi rakyatnya, dan memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.
Sedangkan makna implementasi kemandirian pangan adalah kemampuan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam, kebutuhan pangan warga terpenuhi, terakhir kita bisa memanfaatkan sumber daya alam, manusia, sosial-ekonomi, dan kearifan lokal secara bijak dan bermartabat.
Inilah yang harus difahami oleh kaum muslimin di Indonesia. Kita tidak boleh bergantung apalagi meminta kepada negara lain. Petani – petani kita harus bisa menyediakan komoditas bahan pangan yang beraneka ragam tersebut sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang sehat, mandiri, dan berdaulat. Dengan mengamalkan pesan Rasulullah saw.,”Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lain.” Sesungguhnya bisa sejalan dengan penerapannya bagi bangsa ini.
Hubungan persaudaraan (muta’akhi) antara petani dan masyarakat kota bisa terjalin dengan baik. Akan tercipta perputaran ekonomi yang besar bila potensi keanekaragaman pangan lokal yang dihasilkan petani bisa diserap oleh seluruh komponen bangsa ini. Bahkan, bangsa Indonesia dapat berperan aktif untuk membuat perubahan bagi kondisi kelaparan dunia, dengan turut memberi makan dunia dalam upaya membantu 842 juta orang di dunia atau 12 persen dari total penduduk dunia yang masih hidup dalam kelaparan.
Momentum hijriah adalah sebuah tonggak dimulainya sebuah perubahan. Perubahan pandangan (mindset) guna mewujudkan kesejahteraan ummat harus dimulai dari sekarang agar bangsa ini bisa hidup maju, sejahtera, dan bermartabat bila kita menerapkan pesan Rasulullah saw. di atas. Wallahu’alam bisshawab. (Walikota Depok - Tokoh Diversifikasi Pangan Nasional).
0 comments:
Post a Comment