Tulisan ini dapat dibaca di situs Detik.Com
http://news.detik.com/read/2013/11/29/143057/2427513/471/1/pemilu-2014-pertarungan-mempertahankan-eksistensi
Berbicang
– bincang tentang demokrasi yang ada di negeri ini tak akan pernah ada
habisnya. Bagaimanapun keadaannya, papan catur pentas perpolitikan nasional
telah diletakkan. Tidak ada kata lain untuk para elit politik selain bergerak
maju menghadapi lawan – lawan tangguh. Tujuannya hanya satu yaitu memperebutkan
kursi kepresidenan yang selama dua periode berturut – turut telah dikuasai oleh
petarung dari partai yang berlambang bintang mercy (kejora). Pemilihan Umum (Pemilu)
2014 adalah momentum yang dinanti – nantikan. Sebanyak duabelas partai politik
peserta pemilu nasional dan tiga lainnya adalah partai politik lokal siap
bertanding. Pesta demokrasi lima tahunan tersebut akan menjadi penentu siapa
yang akan memimpin Indonesia selanjutnya.
Saat
pion – pion mulai digerakan
langkah
demi langkah, saat itu pula lawan siap menerkam. Hanya yang mempunyai siasat
jitu yang akan mampu menyelamatkan rajanya hingga ke pucuk kekuasaan. Berbagai
cara dan strategi dilakukan agar dapat mengamankan posisi sang raja, tak
sedikit pasukan pun harus dikorbankan karena hampir semua raja – raja yang
dilidungi telah dicoleki entah oleh pion, kuda, ataupun benteng. Eksistensi
raja yang berkuasa pun terancam. Penonton hanya bisa terpukau penuh perhatian
melihat dan mendengarkan komentator yang pasih dalam menganalisis langkah
mengejutkan yang diambil oleh para pemain. Tak sedikit komentator yang
mengatasnamakan dirinya sebagai pengamat harus berpura – pura karena telah
berpihak kepada salah satu pemain demi sebuah reputasi dan eksistensi.
Sadar
ataupun tidak, kenyataan saat ini adalah perhatian elit telah tertuju pada
upaya untuk mendapatkan dukungan para penonton, tak peduli atas sekelumit
permasalahan yang dihadapi negerinya. Anehnya, penonton pun terpesona oleh
tingkah para elit seolah – olah tindakan para elit adalah bentuk penyelamatan terhadap
penderitaan bangsanya padahal ada misi tersembunyi dibalik tindakan tersebut.
Tak heran jika banyak bermunculan wajah baru bak pahlawan yang menyuarakan suara
perubahan atas dalih tanggug jawab melunasi janji kemerdekaan. Pantaslah jika
sebagian penonton acuh tak acuh terhadap pentas perpolitikan nasional karena
sangat sulit ditebak siapa yang benar – benar maju atas dasar kepedulian
terhadap bangsanya.
Itulah keunikan dari negeri ini. Sebagai negara
yang menjalankan sistem demokrasi, bangsa yang dihuni oleh 250 juta jiwa ini sebentar
lagi akan melaksanakan amanat Konstitusi UUD 1945 untuk memilih anggota DPR,
DPD, Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Banyak kalangan mempunyai
ekspektasi agar pemilu 2014 dapat berjalan dengan jujur dan adil serta sukses
dan aman terlaksana. Harapan untuk memilih pemimpin baru yang mampu membawa
Indonesia menjadi lebih baik adalah impian setiap anak negeri. Sebagai warga
negara yang bertanggung jawab tentunya harus memberikan sekecil apapun
kontibusi untuk pemilu yang akan terlaksana. Peran pengawasan sangat
dibutuhkan. Pengawalan dan pengawasan terhadapa tiga aspek tidak boleh
diababaikan agar apa yang menjadi cita – cita dari konstitusi terlaksana secara
optimal.
1. Pengawasan
Terhadap Partai Politik
Kegagalan
partai dalam memberikan pendidikan politik untuk setiap rakyat menjadi masalah tersendiri
menjelang pemilu 2014. Partai politik seharusnya lebih mengutamakan pembinaan
terhadap rakyat tentang bagaimana berdemokrasi agar rakyat tercerahkan sehingga
dapat mengambil peran dalam menentukan pilihannya. Ketidakpercayaan terhadap
partai politik akan berdampak pada rendahnya partisipasi rakyat menjelang
pemilu 2014.
Banyaknya
kader partai yang terlibat kasus korupsi juga menjadi alasan mengapa publik tidak percaya terhadap
partai. Partai seolah – olah menjadi lumbung koruptor. Harapan rakyat telah
ternodai oleh para elit partai yang tidak mampu memenuhi janji politiknya.
Korupsi telah menjadi ancaman bagi partai politik untuk dapat mengembalikan harapan dan kepercayaan publik.
Untuk
memperoleh kemenangan pemilu 2014 sangat mungkin partai politik menggunakan
cara – cara picik untuk menjatuhkan lawannya. Black campaign dan money politik
akan menjadi senjata utama untuk meraup suara terbanyak. Inilah yang harus
dikawal oleh setiap warga negara Indonesia baik anggota maupun non anggota
partai. Keberhasilan pemilu 2014 akan memberikan angin segar bagi Indonesia sebagai
negara dengan kekuatan ekonomi terbesar keenam di dunia.
Perkembangan
demokrasi Indonesia cukup disegani di ranah global. Indonesia sebagai negara
yang mayoritas berpenduduk Islam akan menjadi lokomotif dalam memainkan peran
sebagai sentral perpolitikan di Asia Tenggara. Situasi kekinian perpolitikan
Indonesia yang sangat sensitif akan mengancam penyelenggaraan pemilu 2014.
Dukungan fanatik terhadap salah satu partai dan adanya rencana koalisi partai
Islamis sangat mungkin mengundang konflik baik vertikal maupun horizontal.
Dalam hal ini peran masyarakat dalam menjaga situasi politik dan menciptakan
suasana politik yang aman dan kondusif sangat dibutuhkan.
2. Pengawasan
Terhadap Calon Legislatif
Adanya
kebijakan partai yang membuka rekrutmen besar – besaran untuk calon anggota
legislatif menunjukkan bahwa partai telah gagal melakukan kaderisasi
kepemimpinan. Popularitas beberapa kalangan seperti artis, seniman, olahragawan
bahkan mentri pun dimanfaatkan oleh partai politik untuk meraup suara yang
sebesar – besarnya pada pemilu 2014. Apalagi banyak kader partai yang
dicalonkan kembali menjadi anggota DPR baik pusat maupun daerah padahal kinerjanya
sangat tidak memuaskan. Pencalonannya hanya karena bermodalkan uang sementara tidak
mengerti apa itu Undang – Undang
(UU). Motivasinya pun bermacam – macam, mulai dari yang hanya
sekedar untuk mencoca – coba, hingga ada
yang bertujuan untuk mengalihkan profesi.
Aneh
memang aneh, menjadi anggota legislatif tak hanya bermodalkan popularitas tapi
dibutuhkan integritas. Salah memaknai peran legislatif akan berdampak pada
buruknya peraturan perundang – undangan yang ada di negeri ini. Bagaimanapun
parlemen bukan tempat untuk mencari pekerjaan melainkan tempat menyusun
kebijakan yang pro rakyat bukan untuk kepentingan kelompok atau partai. Sejauh
ini banyak yang beranggapan bahwa parlemen adalah lahan basah. Sangat fatal
jika parlemen dijadikan sebagai ladang korupsi. Parlemen bukan tempat untuk mereka
benmental serakah. Cukuplah parlemen dikotori oleh para penghianat yang terlajur
dipilih karena janji manisnya. Rakyat tak butuh lagi calon – calon gadungan
apalagi hanya sebagai pelengkap administrasi partai.
Parlemen
2014 adalah tempat untuk orang – orang yang peduli dan bersih. Peduli untuk
menyuarakan kepentingan
rakyat dan bersih dari indikasi korupsi. Sebagai warga negara yang melek
politik sudah seharusnya mengawal dan mengawasi para calon legislatif. Membongkar
kebusukan para calon sangat mungkin jika menginginkan parlemen yang lebih baik.
Melaporkan jika terdapat calon – calon yang bermasalah dan melakukan
pelanggaran terhadap kode etik pun menjadi solusi untuk DPR bersih. Saatnya
setiap elemen bangsa untuk tidak membisukan diri ketika menyaksikan calon –
calon legislatif yang mencoba mengakali dan mengotori kesucian demokrasi di
tanah air.
3. Pengawasan
Terhadap Setiap Warga untuk Menentukan Hak Pilihnya
Peran
setiap warga dalam menentukan pemimpin Indonesia selanjutnya sangat dibutuhkan.
Siapa dan seperti apapun pemimpin yang terpilih 2014 nanti akan mencerminkan
seperti itulah kondisi rakyatnya. Perilaku masyarakat dalam menyikapi pemilu
2014 memiliki beragam tipe. Secara umum setidaknya ada tiga tipe masyarakat
dalam menyikapi pesta demokrasi yang akan datang.
Pertama,
masyarakat yang siap menyukseskan penyelenggaraan pemilu tak peduli terhadap
resiko yang akan dihadapi. Baginya memilih pemimpin menjadi keharusan bagi
setiap warga yang mendiami negara yang menganut sistem demokrasi. Terlibat
aktif dan memberikan peran sekecil apapun untuk kesuksesan pemilu menjadi
tanggung jawabnya. Itulah tipe pertama, kemungkinan besar suaranya akan
diperebutkan oleh partai peserta pemilu 2014.
Kedua,
masyarakat yang hanya berteriak untuk memberikan masukan dan kritikan tetapi
tidak menentukan pilihan. Memilih pemimpin ataupun tidak sama saja. Tipe ini
adalah korban dari pemilu sebelumnya yang telah memberikan kepercayaan kepada
wakilnya namun dikhianati. Kekecewaan membuatnya acuh tak acuh untuk memilih
pemimpin karena baginya semua politikus tidak ada bedanya. Tujuan politikus
mencalonkan diri tiada lain hanya untuk kepentingan kelompok atau partainya.
Inilah kelompok yang condong menjadi golongan putih (Golput). Namun jika partai
politik mampu membujuknya maka dapat dipastikan akan mendongkrak suara partai
pada pemilu yang akan datang.
Ketiga,
masyarakat yang memilih diam atau yang mengatasnamakan golongan putih (Golput). Diam bukan berarti
netral melainkan memiliki ijtihat tersendiri bahwa terlibat dalam demokrasi
adalah haram. Sampai saat ini belum ada solusi untuk tipe yang satu ini agar
dapat memberikan suara dalam menentukan pemimpin Indonesia. Diperkirakan jumlah
golongan putih untuk pemilu yang akan datang
mengalami peningkatan. Tipe yang ketiga ini memiliki
potensi suara yang cukup besar jika dibandingkan dengan tipe yang kedua.
Haruskah pemerinta memberikan perlakuan khusus untuk tipe yang satu ini? Atau
membiarkan diam menjadi penonton dalam pesta demokrasi Indonesia? Semuanya
tidak bisa lepas dari tanggung jawab partai politik, karena partailah yang
membutuhkan suara mereka.
Sebagai
kesimpulan, Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 menjadi ruang untuk konsolidasi
demokrasi. Penggunaan sistem yang baik akan menjadikan penyelenggaraan pemilu yang lebih demokratis
dan menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Oleh karena itu, tidak ada jalan
lain selain meminimalisir potensi yang akan mengancam optimalisasi pelaksanaan
pemilu dengan melibatkan semua elemen bangsa bukan hanya rakyat jelata tetapi
juga elit politik harus memberikan contoh dan pendidikan politik yang baik dan
tidak terjebak politik adu domba.
0 comments:
Post a Comment