Nazhariyyat as Siyasiyyah al Islamiyyah (Teori
Politik Islam) Dr. Muhammad Dhiauddin Rais, Guru Besar dan Ketua Jurusan
Sejarah Islam Fakultas Darul Ulum — Universitas Kairo
PEMBENTUKAN
NEGARA ISLAM
Di antara
fenomena yang disadari oleh sebagian pengkaji teori-teori politik secara umum,
adalah: adanya hubungan yang erat antara timbulnya pemikiran-pemikiran politik
dengan perkembangan kejadian-kejadian historis. Jika fenomena itu benar bagi
suatu jenis atau madzhab pemikiran tertentu, dalam bidang pemikiran apapun, hal
itu bagi pertumbuhan dan perkembangan teori-teori politik Islam amatlah jelas
benarnya. Teori-teori ini —terutama pada fase-fase pertumbuhan pertamanya–
berkaitan amat erat dengan kejadian-kejadian sejarah Islam. Hingga hal itu
harus dilihat seakan-akan keduanya adalah seperti dua sisi dari satu mata uang.
Atau dua bagian yang saling melengkapi satu sama lain. Sifat hubungan di antara
keduanya berubah-ubah: terkadang pemikiran-pemikiran itu tampak menjadi
penggerak terjadinya berbagai kejadian, dan terkadang pula kejadian-kejadian
itu menjadi pendorong atau rahim yang melahirkan pendapat-pendapat itu.
Kadang-kadang suatu teori hanyalah sebuah bias dari kejadian yang berlangsung
pada masa lalu. Atau suatu kesimpulan yang dihasilkan melalui perenungan atas
suatu pendapat yang telah diakui pada masa sebelumnya. Atau bisa pula hubungan
itu berbentuk lain.
Karena adanya
hubungan antara dua segi ini, segi teoretis dan realistis, maka jelaslah
masing-masing dari kedua hal itu tidak dapat dipahami tanpa keberadaan yang
lain. Metode terbaik untuk mempelajari teori-teori ini adalah dengan
mengkajinya sambil diiringi dengan realitas-realitas sejarah yang berkaitan
dengannya. Secara berurutan sesuai dengan fase-fase perkembangan historisnya
—yang sekaligus merupakan runtutan alami dan logisnya. Sehingga dapat dipahami
hakikat hubungan yang mengkaitkan antara dua segi, dapat memperjelas
pendapat-pendapat, dan dapat menunjukkan bumi yang menjadi tempat tumbuhnya
masing-masing pemikiran hingga berbuah, dan mencapai kematangannya. Inilah
metode yang akan digunakan.
ERA KENABIAN
Era ini
merupakan era pertama dalam sejarah Islam. Yaitu dimulai semenjak Rasulullah
Saw memulai berdakwah mengajak manusia untuk menyembah Allah SWT hingga
meninggalnya beliau. Era ini paling baik jika kita namakan sebagai era
“kenabian” atau “wahyu”. Karena era itu memiliki sifat tertentu yang
membedakannya dari era-era yang lain. Ia merupakan era ideal yang padanya
ideal-ideal Islam terwujudkan dengan amat sempurna.
Era ini terbagi
menjadi dua masa, yang keduanya dipisahkan oleh hijrah. Kedua fase itu tidak
memiliki perbedaan dan kelainan satu sama lain, seperti yang diklaim oleh
beberapa orientalis. Bahkan fase yang pertama merupakan fase yang menjadi titik
tolak bagi fase kedua. Pada fase pertama, embrio ‘masyarakat Islam’ mulai
tumbuh, dan telah ditetapkan kaidah-kaidah pokok Islam secara general. Kemudian
pada fase kedua bangun ‘masyarakat Islam’ itu berhasil dibentuk, dan
kaidah-kaidah yang sebelumnya bersifat general selesai dijabarkan secara
mendetail. Syari’at Islam disempurnakan dengan mendeklarasikan prinsip-prinsip
baru, dan dimulailah pengaplikasian dan pelaksanaan prinsip-prinsip itu
seluruhnya. Sehingga tampillah Islam dalam bentuk sosialnya secara integral dan
aktif, yang semuanya menuju kepada tujuan-tujuan yang satu.
Sejarah, dalam
pandangan politik, lebih terpusat pada fase kedua dibandingkan dengan fase
pertama. Karena saat itu jama’ah Islam telah menemukan kediriannya, dan telah
hidup dalam era kebebasan dan independensi. Ia juga telah meraih
‘kedaulatan’nya, secara penuh. Sehingga prinsip-prinsip Islam sudah dapat
diletakkan dalam langkah-langkah praksis. Namun, dalam pandangan sejarah, ciri
terbesar yang menandai kedua fase itu adalah sifatnya sebagai fase
‘pembentukan’, dan fase pembangunan dan permulaan. Fase ini memiliki urgensitas
yang besar dalam menentukan arah kejadian-kejadian historis selanjutnya, dan
sebagai peletak rambu-rambu yang diikuti oleh generasi-generasi berikutnya
sepanjang sejarah. Sedangkan dari segi pemikiran teoritis, pengaruhnya terbatas
pada kenyataannya sebagai ruh umum yang terus memberikan ilham terhadap
pemikiran ini, memberikan contoh atau teladan ideal yang menjadi rujukan
pemikiran-pemikiran itu, meskipun pemikiran-pemikiran itu berbeda satu sama
lain, dan memberikan titik pertemuan bagi pendapat-pendapat dan madzhab-madzhab
yang berbeda. Sedangkan selain itu, ia tidak memiliki hubungan dengan tumbuhnya
pendapat-pendapat parsial yang memiliki kekhasan masing-masing. Terutama jika
objek kajiannya adalah analisis terhadap sistem umum yang menjadi platform
kenegaraan ummat, atau tentang hubungan-hubungan yang terdapat di dalamnya,
atau analisis terhadap salah satu sifatnya. Atau dengan kata lain, analisis
terhadap masalah-masalah yang dinamakan sebagai ‘politik’. Karena
pendapat-pendapat personal itu tidak tumbuh dalam satu atmospir. Namun
pendapat-pendapat itu tampil seiring dengan terjadinya perbedaan pendapat dan
kecenderungan-kecenderungan. Yang mendorong timbulnya pendapat-pendapat itu
juga adalah adanya perasaan kurang sempurna yang ada di tengah masyarakat, dan
keinginan untuk mengoreksi sistem atau perilaku-perilaku yang sedang
berlangsung. Sedangkan jika suatu sistem telah sempurna, yang mencerminkan
prinsip-prinsip agung yang diamini oleh seluruh anggota jama’ah (ummat), dan
adanya persatuan yang terwujud di antara individu-individu, kemudian mereka
menyibukkan diri mereka untuk berbicara dan berdebat tentang agenda-agenda
kerja yang besar, niscaya tidak diperlukan sama sekali tumbuhnya
pendapat-pendapat individu atau tampil ‘teori-teori’.
Demikianlah, era
Rasulullah Saw mencerminkan era persatuan, usaha dan pendirian bangunan umat.
Serta menampilkan ruh yang mewarnai kehidupan politik, dan mewujudkan replika
bangunan masyarakat yang ideal untuk diteladani dan ditiru oleh
generasi-generasi yang datang kemudian. Namun, ‘pemikiran teoritis’ saat itu
belum dimulai. Hal ini tentu amat logis dengan situasi yang ada. Yang jelas,
belum ada kebutuhan terhadap hal itu. Namun demikian, belum lagi era tersebut
berakhir, sudah timbul faktor-faktor fundamental yang niscaya mendorong
timbulnya pemikiran ini, dan membentuk ‘teori-teori politik’ secara lengkap. Di
antara faktor-faktor yang terpenting ada tiga hal: pertama, sifat sistem sosial
yang didirikan oleh Rasulullah Saw. Kedua, pengakuan akan prinsip kebebasan
berpikir untuk segenap individu. Ketiga, penyerahan wewenang kepada umat untuk
merinci detail sistem ini, seperti tentang metode manajerialnya, dan penentuan
beberapa segi formatnya. Kami perlu menjelaskan lebih lanjut tentang
faktor-faktor ini.
ISLAM DAN
POLITIK
Sistem yang
dibangun oleh Rasulullah Saw dan kaum mukminin yang hidup bersama beliau di
Madinah –jika dilihat dari segi praksis dan diukur dengan variabel-variabel politik
di era modern– tidak disangsikan lagi dapat dikatakan bahwa sistem itu adalah
sistem politik par excellence. Dalam waktu yang sama, juga tidak menghalangi
untuk dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem religius, jika dilihat dari
tujuan-tujuannya, motivasinya, dan fundamental maknawi tempat sistem itu
berpijak.
Dengan demikian,
suatu sistem dapat menyandang dua karakter itu sekaligus. Karena hakikat Islam
yang sempurna merangkum urusan-urusan materi dan ruhani, dan mengurus
perbuatan-perbuatan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Bahkan
filsafat umumnya merangkum kedua hal itu, dan tidak mengenal pemisahan antara
keduanya, kecuali dari segi perbedaan pandangan. Sedangkan kedua hal itu
sendiri, keduanya menyatu dalam kesatuan yang tunggal secara solid; saling
beriringan dan tidak mungkin terpisah satu sama lain. Fakta tentang sifat Islam
ini amat jelas, sehingga tidak membutuhkan banyak kerja keras untuk mengajukan
bukti-bukti. Hal itu telah didukung oleh fakta-fakta sejarah, dan menjadi keyakinan
kaum Muslimin sepanjang sejarah yang telah lewat. Namun demikian, ada sebagian
umat Islam sendiri, yang mengklaim diri mereka sebagai ‘kalangan pembaru’,
dengan terang-terangan mengingkari fakta ini!. Mereka mengklaim bahwa Islam hanyalah
sekadar ‘dakwah agama’ : maksud mereka adalah, Islam hanyalah sekadar keyakinan
atau hubungan ruhani antara individu dengan Rabb-nya. Dan dengan demikian tidak
memiliki hubungan sama sekali dengan urusan-urusan yang kita namakan sebagai
urusan materi dalam kehidupan dunia ini. Di antara urusan-urusan ini adalah:
masalah-masalah peperangan dan harta, dan yang paling utama adalah masalah
politik. Di antara perkataan mereka adalah: “agama adalah satu hal, dan politik
adalah hal lain”.
Untuk
mengcounter pendapat mereka, tidak ada manfaatnya jika kami mendedahkan
pendapat-pendapat ulama Islam; karena mereka tidak mau mendengarkannya. Juga
kami tidak memulainya dengan mengajukan fakta-fakta sejarah, karena mereka
dengan sengaja telah mencampakkannya!. Oleh karena itu, cukuplah kami kutip
beberapa pendapat orientalis dalam masalah ini, dan mereka telah mengutarakan
hal itu dengan redaksi yang jelas dan tegas. Hal itu kami lakukan karena para
‘pembaru-pembaru’ itu tidak dapat mengklaim bahwa mereka lebih modern dari para
orientalis itu, juga tidak dapat mengklaim bahwa mereka lebih mampu dalam
menggunakan metode-metode riset modern, dan penggunaan metode-metode ilmiah. Di
antara pendapat-pendapat para orientalis itu adalah sebagai berikut:
Dr. V.
Fitzgerald berkata: “Islam bukanlah semata agama (a religion), namun ia juga
merupakan sebuah sistem politik (a political system). Meskipun pada
dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam, yang mengklaim
diri mereka sebagai kalangan ‘modernis’, yang berusaha memisahkan kedua sisi
itu, namun seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun di atas fundamental bahwa
kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras, yang tidak dapat dapat
dipisahkan satu sama lain”.
Prof. C. A.
Nallino berkata: “Muhammad telah membangun dalam waktu bersamaan: agama (a
religion) dan negara (a state). Dan batas-batas teritorial negara yang ia
bangun itu terus terjaga sepanjang hayatnya”.
Dr. Schacht
berkata : ” Islam lebih dari sekadar agama: ia juga mencerminkan teori-teori
perundang-undangan dan politik. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, ia
merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup agama dan negara secara
bersamaan”.
Prof. R.
Strothmann berkata : “Islam adalah suatu fenomena agama dan politik. Karena
pembangunnya adalah seorang Nabi, yang juga seorang politikus yang bijaksana,
atau “negarawan”.
Prof D.B.
Macdonald berkata : “Di sini (di Madinah) dibangun negara Islam yang pertama,
dan diletakkan prinsip-prinsip utama undang-undang Islam”.
Sir. T. Arnold
berkata : ” Adalah Nabi, pada waktu yang sama, seorang kepala agama dan kepala
negara”.
Prof. Gibb
berkata : “Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam bukanlah sekadar kepercayaan
agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangun masyarakat yang
independen. Ia mempunyai metode tersendiri dalam sistem kepemerintahan,
perundang-undangan dan institusi”.
BUKTI SEJARAH
Seluruh
pendapat-pendapat tadi diperkuat oleh fakta-fakta sejarah : di antara fakta
sejarah yang tidak dapat diingkari oleh siapapun adalah, setelah timbulnya
dakwah Islam, kemudian terbentuk bangunan masyarakat baru yang mempunyai
identitas independen yang membedakannya dari masyarakat lain. Mengakui satu
undang-undang, menjalankan kehidupannya sesuai dengan sistem yang satu, menuju
kepada tujuan-tujuan yang sama, dan di antara individu-individu masyarakat yang
baru itu terdapat ikatan ras, bahasa, dan agama yang kuat, serta adanya
perasaan solidaritas secara umum. Bangunan masyarakat yang memiliki semua
unsur-unsur tadi itulah yang dinamakan sebagai bangunan masyarakat ‘politik’.
Atau yang dinamakan sebagai ‘negara’. Tentang negara, tidak ada suatu definisi
tertentu, selain aanya fakta terkumpulnya karakteristik-karakteristi yang telah
disebutkan tadi dalam suatu bangunan masyarakat.
Di antara
fakta-fakta sejarah yang tidak diperselisihkan juga adalah, bangunan masyarakat
politik ini atau ‘negara’, telah memulai kehidupan aktifnya, dan mulai
menjalankan tugas-tugasnya, dan merubah prinsip-prinsip teoritis menuju dataran
praksis. Setelah tersempurnakan kebebasan dan kedaulatannya, dan kepadanya
dimasukkan unsur-unsur baru dan adanya penduduk. Yaitu setelah pembacaan bai’at
Aqabah satu dan dua, yang dilakukan antara Rasulullah Saw dengan utusan dari
Madinah, yang dilanjutkan dengan peristiwa hijrah. Para faktanya, kedua bai’at
ini –yang tidak diragukan oleh seorangpun tentang berlangsungnya kedua bai’at
ini– merupakan suatu titik transformasi dalam Islam (11). Dan peristiwa hijrah
hanyalah salah satu hasil yang ditelurkan oleh kedua peristiwa bai’at itu.
Pandangan yang tepat terhadap kedua bai’at tadi adalah dengan melihatnya
sebagai batu pertama dalam bangunan ‘negara Islam’. Dari situ akan tampak
urgensitas kedua hal itu. Alangkah miripnya kedua peristiwa bai’at itu dengan
kontrak-kontrak sosial yang di deskripsikan secara teoritis oleh sebagian
filosof politik pada era-era modern. Dan menganggapnya sebagai fondasi bagi
berdirinya negara-negara dan pemerintahan. Namun bedanya, ‘kontrak sosial’ yang
dibicarakan Roussou dan sejenisnya hanyalah semata ilusi dan imajinasi, sementara
kontrak sosial yang terjadi dalam sejarah Islam ini berlangsung dua kali secara
realistis di Aqabah. Dan di atas kontrak sosial itu negara Islam berdiri. Ia
merupakan sebuah kontrak historis. Ini merupakan suatu fakta yang diketahui
oleh semua orang. Padanya bertemu antara keinginan-keinginan manusiawi yang
merdeka dengan pemikiran-pemikiran yang matang, dengan tujuan untuk mewujudkan
risalah yang mulia.
Dengan demikian,
negara Islam terlahirkan dalam keadaan yang amat jelas. Dan pembentukannya terjadi
dalam tatapan sejarah yang jernih. Karena Tidak ada satu tindakan yang
dikatakan sebagai tindakan politik atau kenegaraan, kecuali dilakukan oleh
negara Islam yang baru tumbuh ini. Seperti Penyiapan perangkat untuk mewujudkan
keadilan, menyusun kekuatan pertahanan, mengadakan pendidikan, menarik pungutan
harta, mengikat perjanjian atau mengirim utusan-utusan ke luar negeri. Ini
merupakan fakta sejarah yang ketiga. Adalah mustahil seseorang mengingkarinya.
Kecuali jika kepadanya dibolehkan untuk mengingkari suatu fakta sejarah yang
terjadi di masa lalu, dan yang telah diterima kebenarannya oleh seluruh
manusia. Dari fakta-fakta yang tiga ini –yang telah kami sebutkan– terbentuk
bukti sejarah yang menurut kami dapat kami gunakan sebagai bukti –di samping pendapat
kalangan orientalis yang telah disitir sebelumnya– atas sifat politik sistem
Islam. Jika telah dibuktikan, dengan cara-cara yang telah kami gunakan tadi,
bahwa sistem Islam adalah sistem politik, dengan demikan maka terwujudlah
syarat pertama yang mutlak diperlukan bagi keberadaan pemikiran politik. Karena
semua pemikiran tentang hal ini: baik tentang pertumbuhannya, hakikatnya,
sifat-sifatnya atau tujuan-tujuannya, niscaya ia menyandang sifat ini, yaitu
sifatnya sebagai suatu pemikiran politik. Syarat ini merupakan faktor yang
terpenting dalam pertumbuhan pemikiran ini. Bahkan ia merupakan landasan
berpijak bagi kerangka-kerangka teoritis dan aliran-aliran pemikiran yang
beragam.
CATATAN KAKI:
1. Di antara tokoh yang mengatakan hal itu adalah
Prof. J.N. Figgis dalam buku “The Divine Right of Kings –yang dengan bukunya
itu ia mendapatkan salah satu penghargaan sastra yang besar– , dalam beberapa
tempat dari bukunya itu, ia membuktikan bahwa teori itu lahir akibat situasi
dan kondisi yang berlangsung pada saat itu. Di antara ungkapannya itu adalah
yang ia tulis dalam pendahuluan bukunya itu: “Teori ini lebih tepat dikatakan
sebagai akibat dari realitas yang ada, ketimbang sebagai buah pemikiran murni”.
2. J. Matters juga mengatakan dalam bukunya “Concepts
of State, Sovereignty and International Law”, p.2, sebagai berikut: “ini adalah
fakta yang penting, meskipun tidak diketahui oleh banyak orang: bahwa
teori-teori yang ditelurkan oleh Hocker, Hobbes, Locke, dan Roussou merupakan
hasil dari kecenderungan-kecenderungan politik mereka, dan perhatian mereka
terhadap hasil peperangan-pepernagan agama dan politik, yang –secara
berturut-turut–terjadi pada zaman mereka, di negara-negara mereka, atau di
negara-negara yang menjadi perhatian mereka”.
3. Di antara klaim-klaim yang salah, yang
didengung-dengungkan oleh banyak orientalis adalah: bahwa peristiwa hijrah
merupakan permulaan era baru. Maksudnya, ia merupakan starting point terjadinya
perubahan fundamental, yang tidak saja terlihat dalam pergeseran sifat kejadian-kejadian
yang berlangsung setelahnya, namun juga pada karakteristik Islam itu sendiri,
prinsip-prinsip yang diajarkan olehnya, serta dalam lingkup kejiwaan Rasulullah
Saw dan tujuan-tujuan beliau. Untuk membuktikan klaim itu, mereka melakukan
komparasi antara kehidupan Rasulullah Saw yang bersifat menyerah dan mengalah
di Mekkah dengan kehidupan jihad dan revolusi di Madinah!. Untuk membantah
klaim ini, kita cukup berdalil dengan fakta bahwa tidak kontradiksi antara
kedua priode kehidupan Rasulullah Saw itu (priode Mekkah dan madinah), dan
priode kedua tak lebih dari kontiunitas periode pertama. Dan perbedaan yang ada
hanyalah terletak pada kondisi dan faktor-faktor penggerak kejadian; setiap
kali ada fenomena tertentu yang signifikan, saat itu pula timbul dimensi baru
dalam kehidupan Islam.
Namun kita cukup mengutip apa yang dikatakan
oleh seorang tokoh orientalis yang besar, yaitu Prof. H.A.R. Gibb. Ia berkata
dalam bukunya yang berbicara tentang Islam “Muhammedanism”, p. 27, in the
Series (H.U.L), 1949, sebagai berikut:
“Peristiwa
hijrah sering dilihat sebagai starting point transformasi menuju era baru dalam
kehidupan Muhammad dan penerusnya; namun pembandingan secara mutlak yang
biasanya dilakukan antara pribadi seorang Rasul yang tidak terkenal dan
tertindas di Mekkah, dengan pribadi seorang mujahid [Muhammad] dalam membela
aqidah di Madinah, tidak memiliki landasannya dalam sejarah. Tidak ada
perubahan dalam pandangan Muhammad tentang misinya atau kesadarannya terhadap
misinya itu. Meskipun dalam segi pisik tampak gerakan Islam dalam bentuk yang
baru, namun hal itu hanyalah bersifat sebagai penampakkan sesuatu yang
sebelumnya tertutup, dan pendeklarasian sesuatu yang sebelumnya disembunyikan.
Adalah suatu pemikiran Rasul yang tetap — seperti yang juga dilihat oleh
musuhnya dalam memandang masyarakat agama baru yang didirikan olehnya itu–
bahwa dia akan mendirikan suatu bangunan politik; sama sekali bukan sekadar
bentuk agama yang terpisah dari dan terletak di bawah kekuasaan pemerintahan
duniawi. Dia selalu menegaskan, saat menjelaskan sejarah risalah-risalah rasul
sebelumnya, bahwa ini (pendirian negara) merupakan salah satu tujuan utama
diutusnya rasul-rasul oleh Tuhan. Dengan demikian, sesuatu hal baru yang
terjadi di Madinah –hanyalah– berupa: jama’ah Islam telah mengalami
transformasi dari fase teoritis ke fase praksis”.
Deskripsi detail
tentang kedua bai’at tadi dapat dirujuk di dalam buku-buku sejarah politik.
Dalam kesempatan ini kami sebutkan dua referensi: pertama, Sirah ibnu Hisyam
(cet. Al Maktabah at Tijariah al Kubra), juz 2, hal. 35-90. kedua, Muhadharat
fi Tarikh al Umam al Islamiah, karya Muhammad Khudhari, juz 1, hal. 79-83. Kami
cukup mengutip sedikit darinya tentang kedua bai’at itu. Yaitu bahwa bai’at
yang pertama terjadi satu tahun tiga bulan sebelum peristiwa hijrah, dan
dihadiri oleh dua belas laki-laki dari penduduk Madinah. Kesepakatan yang
diucapkan pada saat itu adalah tentang keharusan bertauhid, memegang
kaidah-kaidah akhlak sosial umum yang menjadi dasar bagi undang-undang
masyarakat yang ideal. Sedsangkan bai’at yang kedua terjadi satu tahun setelah
itu, pada musim haji yang berikutnya. Dihadiri oleh tujuh puluh tiga laki-laki
dan dua orang wanita. Perjanjian yang diucapkan saat itu —disamping point-point
yang disepakati sebelumnya– adalah untuk saling bantu-membantu daslam
peperangan dan perdamaian dalam melawan musuh negara yang baru berdiri itu, dan
agama yang baru, serta untuk taat dalam kebaikan dan membela kebenaran.



0 comments:
Post a Comment