POLITIK DI MATA IBNU TAIMIYYAH - Uki Media Network
Headlines News :
'

Home » , » POLITIK DI MATA IBNU TAIMIYYAH

POLITIK DI MATA IBNU TAIMIYYAH

Written By Unknown on Saturday, October 27, 2012 | 5:32 AM

Ibnu Taimiyah (1263-1329) hidup pada masa kekuasaan Daulah Mamluk/Mamalik. Pada masa itu umat Islam mengalami kemunduran. Secara internal, umat Islam mengidap penyakit taqlid dan jumud karena virus "pintu ijtihad telah tertutup". Selain itu virus bid'ah dan khurafat menjangkiti tubuh umat. Dari eksternal, umat Islam terus diserang oleh tentara salib (crussaders), juga dampak serangan tentara Tartar terhadap Baghdad. Pada kondisi inilah Ibnu Taimiyah hidup. Jadi, tantangan beliau pada masa itu ada 2 : ke internal, yaitu memberantas penyakit umat seperti taqlid-jumud-bid'ah-khurafat dan ke eksternal, yaitu berjihad melawan tentara Tartar. Sehingga, selama hidupnya, beliau terkenal sebagai pejuang dgn pena dan pedang; ulama sekaligus mujahid. Sampai-sampai beliau melakukan ijtihad pribadi yg beliau sendiri melarang umat untuk mengikutinya, yaitu ijtihad untuk tidak menikah, karena dgn menikah berarti beliau tidak fokus lagi untuk berjihad dgn pena dan pedang. Hal ini merupakan satu dari sekian banyak kontroversi sikap dan pemikirannya. 
 
Kalaulah dikatakan, seperti dinyatakan Luthfi Assyaukanie, teori perpolitikan dalam sejarah Islam itu dikembangkan dalam 2 pendekatan, yaitu filsafat dan fiqh. Para pemikir politik Islam yg menggunakan pendekatan filsafat misalnya al Farabi dan Ibnu Abi Rabi. Sedangkan yg menggunakan pendekatan fiqh contohnya Imam al Mawardi; disiplin ilmunya kemudian disebut fiqh siyasah. Sebetulnya ada pendapat yg memasukkan Ibnu Taimiyah ke dalam fiqh siyasah, tapi penulis kurang setuju dgn itu, karena menurut penulis, metode pemikiran Ibnu Taimiyah merangkum 2 pendekatan itu filosofis dan fiqh. Filosofis itu utopia-idealis; fiqh itu distopia-realis. Para pemikir politik Islam yg menggunakan pendekatan filsafat, dipengaruhi oleh pemikiran Plato yg memang utopi mengawang-awang. Jadi metodenya "idealis to realita", yaitu pemikiran yg ideal diterapkan ke alam nyata. Sebaliknya, pemikir yg menggunakan pendekatan fiqh, menggunakan metode "realis to idealita", yaitu kondisi realis dijadikan sandaran untuk menentukan suatu idealita. Nah, menurut penulis, Ibnu Taimiyah menggunakan kedua pendekatan ini, apalagi beliau seorang ulama sekaligus mujahid; teori sekaligus praktek. 
Pemikiran politik Ibnu Taimiyah tertulis dalam kitabnya, yaitu Siyasah asy Syar'iyah dan Minhaj as Sunnah. Dengan kaca mata Ibnu Taimiyah inilah, baik corak pemikiran maupun pengamalan. 
Pertama, tentang amanah. Di dalam Siyasah asy Syar'iyah, Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa amanah itu ada dalam 2 hal, yaitu kepemimpinan dan harta benda. Di satu sisi, kepemimpinan itu adalah satu dari kewajiban-kewajiban agama yg terbesar. Agama tidak bisa tegak tanpa kepemimpinan. Jadi, kepemimpinan dalam Islam itu sangat mulia, bahkan pemimpin yg adil itu menjadi golongan pertama dari 7 golongan yg Dinaungi Allah di akhirat nanti. Tapi sebaliknya, di sisi lain kepemimpinan bisa menjadi faktor perusak jika hal itu dijadikan alat untuk memuaskan nafsu kekuasaan dan harta benda. Contohnya seperti Fir'aun yg dihinakan oleh Allah. Kemudian terkait harta benda, jika hal itu dimanfaatkan untuk kepentingan agama dan negara, maka memang seharusnya begitu. Tapi jika harta benda malah menimbulkan sifat loba dan tamak, maka kebalikannyalah yg didapat. Ia akan dihinakan seperti Qarun. Rasulullah bersabda : "Dua ekor serigala lapar yg dilepaskan ke tengah sekawanan domba, tidaklah lebih berbahaya dari orang yg loba dan tamak kepada harta atau kepada pangkat kehormatan bagi agamanya." (HR Ka'ab ibn Malik, dihasan-shahihkan oleh Tirmidzi). Tentang kepemimpinan, seperti sudah dijelaskan pada tulisan sebelumnya, menurut Ibnu Taimiyah disyaratkan orang yg memiliki quwwah dan amanah sekaligus. Jika tidak terpenuhi, maka tentukan prioritas sesuai kebutuhan : quwwah atau amanah? Quwwah di atas maknanya bukan hanya kuat fisik, tapi kuat dalam arti profesional dan kompeten dalam leadership. 
Kedua, tentang musyawarah. Di dalam Siyasah asy Syar'iyah ditegaskan bahwa musyawarah adalah sebuah kewajiban. Dgn musyawarah itu dulu Rasulullah mengikat para shahabatnya. Musyawarah ini menjadi kebiasaan Rasulullah dan shahabat terhadap suatu permasalahan yg tidak ada keterangan dalil al Quran dan hadits secara tegas untuk mengaturnya. Dgn musyawarah ini Insya Allah umat senantiasa terjaga. Umat Islam tidak akan sepakat dalam kesalahan. Rasulullah bersabda, yg dikutip oleh Yusuf al Qaradhawy dalam Siyasah asy Syar'iyah versi beliau : "Syaithan itu bersama 1 orang. Syaithan akan menjauh dari 2 orang. Lalu syaithan akan semakin menjauh dari 3 orang... Dst." Artinya, dgn 1 orang, suatu hasil keputusan bisa dipengaruhi oleh syaithan. Jika ada lebih dari 3 orang yg bermusyawarah, maka keputusan yg diambil akan jauh lebih aman dari intervensi syaithan. 
Dari hadits di atas, kita memahami bahwa suara mayoritas dalam Islam sangat berharga, kalau tidak dikatakan sangat menentukan. Maka sebaiknya memang peserta musyawarah itu representatif, karena tidak mungkin semua masyarakat mengikutinya, cukup perwakilan saja. Tentunya perwakilan tersebut benar-benar mewakili elemen-elemen yg ada pada masyarakat. Kita mengenal Ahlul Hal wal Aqdi/Ahlul Ikhtiyar, ada yg mengartikan sebagai dewan parlemen yg terdiri dari para ulama, ada juga yg mengartikan tidak hanya ulama. Fungsi lembaga ini salah satunya adalah untuk memilih pemimpin negara. Agaknya, Ibnu Taimiyah mengambil definisi yg pertama. Sehingga dalam Minhaj as Sunnah, Ibnu Taimiyah mengkritik lembaga Ahlul Hal wal Aqdi ini. Menurut beliau, lembaga ini hanya terbatas kepada ulama dan tidak mewakili elemen masyarakat. Karena itu beliau menegaskan seharusnya lembaga tersebut mewakili seluruh elemen masyarakat. Beliau memperkenalkan lembaga Ahlusy Syaukah, yg terdiri dari ulama dan orang-orang yg memegang otoritas di masyarakat. 
Ketiga, tentang 4 golongan manusia. Ibnu Taimiyah menggolongkan manusia ke dalam 4 kelompok. 1) Manusia yg ingin berkuasa dan berbuat kekacauan, seperti Fir'aun. 2) Manusia yg ingin berbuat kekacauan tanpa ingin berkuasa, seperti pencuri dan berandalan. 3) Manusia yg ingin kekuasaan tapi tidak ingin kekacauan, seperti agamawan yg ingin tampak lebih tinggi derajatnya dibanding orang lain. 4) Manusia yg tidak ingin kekuasaan dan kekacauan, merekalah ahli surga. 
Keempat, tentang 2 jalan yg buruk. Di dalam Siyasah asy Syar'iyah, Ibnu Taimiyah menjelaskan tentang 2 jalan yg buruk, yaitu jalan agama yg tanpa mementingkan kekuasaan, jihad, dan kekayaan harta benda; dan jalan kekuasaan yg meliputi kekayaan harta benda dan jihad tapi tanpa agama. Jalan yg pertama adalah jalan yg sesat (dhaalliin) dan jalan yg kedua adalah jalan yg Dimurkai Allah (maghdhub). Jalan pertama adalah jalan orang Nasrani dan jalan kedua adalah jalan orang Yahudi. Yg penulis pahami dari pernyataan ini adalah bahwa agama Nasrani dan Yahudi memisahkan antara agama dan politik. Nasrani akhirnya bisa mendirikan sebuah pemerintahan keagamaan tapi bukan politik, yaitu pemerintahan kepausan. Sampai ada doktrin "Berikanlah hak kaisar kepada kaisar, dan berikanlah hak paus kepada paus"; kerajaan itu representasi politik dan paus itu representasi agama. Sedangkan Yahudi berhasil membangun "pemerintahan dunia" yg menginternasional, orang/unsur Yahudi ada di mana-mana menguasai politik, ekonomi, pendidikan, dst., tapi pemerintahannya tidak mementingkan agama. Inilah kedua jalan yg buruk, jalan yg sekuler. 
 
Lalu Ibnu Taimiyah menyebutkan ada jalan ketiga, yaitu jalan lurus (shirathal mustaqim), yaitu jalan Rasulullah, shahabat, tabi'in,.........dan para pengikutnya. Jalan inilah jalan yg selamat. Menurut penulis, jalan Rasulullah inilah yg memadukan jalan pertama dan kedua, agama dan politik dipadukan, tidak sekuler.
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

 
Support : Uki Kifli | Bacalah | Bacalah
Copyright © 2011. Uki Media Network :: Berkembang Dalam Tantangan
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger