Ibnu Taimiyah
(1263-1329) hidup pada masa kekuasaan Daulah Mamluk/Mamalik. Pada masa itu umat
Islam mengalami kemunduran. Secara internal, umat Islam mengidap penyakit
taqlid dan jumud karena virus "pintu ijtihad telah tertutup". Selain
itu virus bid'ah dan khurafat menjangkiti tubuh umat. Dari eksternal, umat
Islam terus diserang oleh tentara salib (crussaders), juga dampak serangan
tentara Tartar terhadap Baghdad. Pada kondisi inilah Ibnu Taimiyah hidup. Jadi,
tantangan beliau pada masa itu ada 2 : ke internal, yaitu memberantas penyakit
umat seperti taqlid-jumud-bid'ah-khurafat dan ke eksternal, yaitu berjihad
melawan tentara Tartar. Sehingga, selama hidupnya, beliau terkenal sebagai
pejuang dgn pena dan pedang; ulama sekaligus mujahid. Sampai-sampai beliau
melakukan ijtihad pribadi yg beliau sendiri melarang umat untuk mengikutinya,
yaitu ijtihad untuk tidak menikah, karena dgn menikah berarti beliau tidak
fokus lagi untuk berjihad dgn pena dan pedang. Hal ini merupakan satu dari sekian
banyak kontroversi sikap dan pemikirannya.
Kalaulah
dikatakan, seperti dinyatakan Luthfi Assyaukanie, teori perpolitikan dalam
sejarah Islam itu dikembangkan dalam 2 pendekatan, yaitu filsafat dan fiqh.
Para pemikir politik Islam yg menggunakan pendekatan filsafat misalnya al
Farabi dan Ibnu Abi Rabi. Sedangkan yg menggunakan pendekatan fiqh contohnya
Imam al Mawardi; disiplin ilmunya kemudian disebut fiqh siyasah. Sebetulnya ada
pendapat yg memasukkan Ibnu Taimiyah ke dalam fiqh siyasah, tapi penulis kurang
setuju dgn itu, karena menurut penulis, metode pemikiran Ibnu Taimiyah
merangkum 2 pendekatan itu filosofis dan fiqh. Filosofis itu utopia-idealis;
fiqh itu distopia-realis. Para pemikir politik Islam yg menggunakan pendekatan
filsafat, dipengaruhi oleh pemikiran Plato yg memang utopi mengawang-awang.
Jadi metodenya "idealis to realita", yaitu pemikiran yg ideal
diterapkan ke alam nyata. Sebaliknya, pemikir yg menggunakan pendekatan fiqh,
menggunakan metode "realis to idealita", yaitu kondisi realis
dijadikan sandaran untuk menentukan suatu idealita. Nah, menurut penulis, Ibnu
Taimiyah menggunakan kedua pendekatan ini, apalagi beliau seorang ulama
sekaligus mujahid; teori sekaligus praktek.
Pemikiran
politik Ibnu Taimiyah tertulis dalam kitabnya, yaitu Siyasah asy Syar'iyah dan
Minhaj as Sunnah. Dengan kaca mata Ibnu Taimiyah inilah, baik corak pemikiran
maupun pengamalan.
Pertama, tentang
amanah. Di dalam Siyasah asy Syar'iyah, Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa amanah
itu ada dalam 2 hal, yaitu kepemimpinan dan harta benda. Di satu sisi,
kepemimpinan itu adalah satu dari kewajiban-kewajiban agama yg terbesar. Agama
tidak bisa tegak tanpa kepemimpinan. Jadi, kepemimpinan dalam Islam itu sangat
mulia, bahkan pemimpin yg adil itu menjadi golongan pertama dari 7 golongan yg
Dinaungi Allah di akhirat nanti. Tapi sebaliknya, di sisi lain kepemimpinan
bisa menjadi faktor perusak jika hal itu dijadikan alat untuk memuaskan nafsu
kekuasaan dan harta benda. Contohnya seperti Fir'aun yg dihinakan oleh Allah. Kemudian
terkait harta benda, jika hal itu dimanfaatkan untuk kepentingan agama dan
negara, maka memang seharusnya begitu. Tapi jika harta benda malah menimbulkan
sifat loba dan tamak, maka kebalikannyalah yg didapat. Ia akan dihinakan
seperti Qarun. Rasulullah bersabda : "Dua ekor serigala lapar yg
dilepaskan ke tengah sekawanan domba, tidaklah lebih berbahaya dari orang yg
loba dan tamak kepada harta atau kepada pangkat kehormatan bagi agamanya."
(HR Ka'ab ibn Malik, dihasan-shahihkan oleh Tirmidzi). Tentang kepemimpinan,
seperti sudah dijelaskan pada tulisan sebelumnya, menurut Ibnu Taimiyah
disyaratkan orang yg memiliki quwwah dan amanah sekaligus. Jika tidak
terpenuhi, maka tentukan prioritas sesuai kebutuhan : quwwah atau amanah?
Quwwah di atas maknanya bukan hanya kuat fisik, tapi kuat dalam arti
profesional dan kompeten dalam leadership.
Kedua, tentang
musyawarah. Di dalam Siyasah asy Syar'iyah ditegaskan bahwa musyawarah adalah
sebuah kewajiban. Dgn musyawarah itu dulu Rasulullah mengikat para shahabatnya.
Musyawarah ini menjadi kebiasaan Rasulullah dan shahabat terhadap suatu
permasalahan yg tidak ada keterangan dalil al Quran dan hadits secara tegas
untuk mengaturnya. Dgn musyawarah ini Insya Allah umat senantiasa terjaga. Umat
Islam tidak akan sepakat dalam kesalahan. Rasulullah bersabda, yg dikutip oleh
Yusuf al Qaradhawy dalam Siyasah asy Syar'iyah versi beliau : "Syaithan
itu bersama 1 orang. Syaithan akan menjauh dari 2 orang. Lalu syaithan akan
semakin menjauh dari 3 orang... Dst." Artinya, dgn 1 orang, suatu hasil
keputusan bisa dipengaruhi oleh syaithan. Jika ada lebih dari 3 orang yg
bermusyawarah, maka keputusan yg diambil akan jauh lebih aman dari intervensi
syaithan.
Dari hadits di
atas, kita memahami bahwa suara mayoritas dalam Islam sangat berharga, kalau
tidak dikatakan sangat menentukan. Maka sebaiknya memang peserta musyawarah itu
representatif, karena tidak mungkin semua masyarakat mengikutinya, cukup
perwakilan saja. Tentunya perwakilan tersebut benar-benar mewakili
elemen-elemen yg ada pada masyarakat. Kita mengenal Ahlul Hal wal Aqdi/Ahlul
Ikhtiyar, ada yg mengartikan sebagai dewan parlemen yg terdiri dari para ulama,
ada juga yg mengartikan tidak hanya ulama. Fungsi lembaga ini salah satunya
adalah untuk memilih pemimpin negara. Agaknya, Ibnu Taimiyah mengambil definisi
yg pertama. Sehingga dalam Minhaj as Sunnah, Ibnu Taimiyah mengkritik lembaga
Ahlul Hal wal Aqdi ini. Menurut beliau, lembaga ini hanya terbatas kepada ulama
dan tidak mewakili elemen masyarakat. Karena itu beliau menegaskan seharusnya
lembaga tersebut mewakili seluruh elemen masyarakat. Beliau memperkenalkan
lembaga Ahlusy Syaukah, yg terdiri dari ulama dan orang-orang yg memegang
otoritas di masyarakat.
Ketiga, tentang
4 golongan manusia. Ibnu Taimiyah menggolongkan manusia ke dalam 4 kelompok. 1)
Manusia yg ingin berkuasa dan berbuat kekacauan, seperti Fir'aun. 2) Manusia yg
ingin berbuat kekacauan tanpa ingin berkuasa, seperti pencuri dan berandalan.
3) Manusia yg ingin kekuasaan tapi tidak ingin kekacauan, seperti agamawan yg
ingin tampak lebih tinggi derajatnya dibanding orang lain. 4) Manusia yg tidak
ingin kekuasaan dan kekacauan, merekalah ahli surga.
Keempat, tentang
2 jalan yg buruk. Di dalam Siyasah asy Syar'iyah, Ibnu Taimiyah menjelaskan
tentang 2 jalan yg buruk, yaitu jalan agama yg tanpa mementingkan kekuasaan,
jihad, dan kekayaan harta benda; dan jalan kekuasaan yg meliputi kekayaan harta
benda dan jihad tapi tanpa agama. Jalan yg pertama adalah jalan yg sesat
(dhaalliin) dan jalan yg kedua adalah jalan yg Dimurkai Allah (maghdhub). Jalan
pertama adalah jalan orang Nasrani dan jalan kedua adalah jalan orang Yahudi.
Yg penulis pahami dari pernyataan ini adalah bahwa agama Nasrani dan Yahudi
memisahkan antara agama dan politik. Nasrani akhirnya bisa mendirikan sebuah
pemerintahan keagamaan tapi bukan politik, yaitu pemerintahan kepausan. Sampai
ada doktrin "Berikanlah hak kaisar kepada kaisar, dan berikanlah hak paus
kepada paus"; kerajaan itu representasi politik dan paus itu representasi
agama. Sedangkan Yahudi berhasil membangun "pemerintahan dunia" yg
menginternasional, orang/unsur Yahudi ada di mana-mana menguasai politik,
ekonomi, pendidikan, dst., tapi pemerintahannya tidak mementingkan agama.
Inilah kedua jalan yg buruk, jalan yg sekuler.
Lalu Ibnu
Taimiyah menyebutkan ada jalan ketiga, yaitu jalan lurus (shirathal mustaqim),
yaitu jalan Rasulullah, shahabat, tabi'in,.........dan para pengikutnya. Jalan
inilah jalan yg selamat. Menurut penulis, jalan Rasulullah inilah yg memadukan
jalan pertama dan kedua, agama dan politik dipadukan, tidak sekuler.



0 comments:
Post a Comment