Mencermati
pemikiran yang ditawarkan oleh Machiavelli dalam bukunya Il Principle, membuat
penulis berpikir ulang, apakah pola kepemimpinan ini yang dijadikan rujukan
dalam praktik kehidupan pemerintah dan berpolitik pada saat ini? Dalam
pandangan Machiavelli kekejaman, terror dan kekerasan adalah institusi sah
dalam mempertahankan kekuasaan. Sejenak kita melihat pendapatnya, “Jika situasi
menjamin, penguasa dapat melanggar perjanjian dengan negara lain, dan melakukan
kekejaman dan terror. Ditulis dalam Il Principle : “It is necessary for a
prince, who wishes to maintain himself, to learn how not to be good, and to use
this knowledge or not use it, according to the necessity of the case.” Yang
terpenting dari pemikiran Machiavelli, adalah ia telah mengangkat persoalan
politik dari aspek moral dan ketuhanan.
Mengangkat aspek
moral dan ketuhanan dalam persoalan politik adalah sebuah reaksi yang diberikan
oleh para cendekiawan Eropa-Kristen Abad Pertengahan terhadap institusi
kekuasaan paling dominan pada saat itu yaitu institusi Kepausan yang memerintah
Eropa dengan konsepsi Christendom (Kekaisaran Kristen di bawah Kepausan). Adian
Husaini menyebutkan mengenai reaksi yang diberikan para cendekiawan,”…Dominasi
kekuasaan kaum agamawan dalam politik kemudian menyulut berbagai protes. Tahun 1887, Lord Acton seperti menyindir hegemoni kekuasaan agama dan menulis surat
kepada Bishop Mandell Creighton. Isinya antara lain: “All power tends to
corrupt; absolute power corrupts absolutely.”
(Peter de Rosa, Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy, (London: Bantam Press, 1991)).”
Syamsuddin Arif
mencoba menjelaskan bagaimana konsep sekularisasi itu berkembang dalam
peradaban Eropa, diantaranya adalah, “Salah satunya mengatakan bahwa
sekularisasi bermula dari pergolakan pikiran dan pertarungan gagasan antara
(battles of minds and ideas), seperti tercermin dalam kasus Copernicus,
Galileo, Darwin dan para saintis lain yang menentang doktrin Gereja. Begitu
juga di bidang teologi, muncul tokoh-tokoh seperti Eichorn dan Strauss yang
menerapkan berbagai metode historis-kritis dalam kajian Bibel”
Penulis menilai
dalam kacamata inilah pemikiran Machiavelli dibingkai. Bagaimana konsepsi
pemisahan antara agama dan ruang publik terjadi karena, Barat memandang
dominasi agama akan mengantarkan mereka pada masa kegelapan masa lampau (The
Dark Ages) ketika Gereja berkuasa. Adian Husaini berpendapat, “mereka selalu
beralasan, bahwa jika agama dicampur dengan politik, maka akan terjadi
“politisasi agama”; agama haruslah dipisahkan dari negara. Agama dianggap
sebagai wilayah pribadi dan politik (negara) adalah wilayah publik; agama
adalah hal yang suci sedangkan politik adalah hal yang kotor dan profan.”
POLITIK ALA MACHIAVELLI
Sejarawan Marvin
Perry, mencatat dalam bukunya, Western Civilization: A Brief History, (New
York: Houghton Mifflin Company, 1997), bahwa nilai penting dari pemikiran Machiaveli
adalah usahanya melepaskan pemikiran politik dari kerangka agama dan meletakkan
politik semata-mata urusan ilmuwan politik.
“In secularizing and rationalizing political philosophy, he initiated a
trend of thought that we recognized as
distinctly modern,” tulis Perry. Jadi, sumbangan terbesar Machiavelli adalah
menghilangkan faktor agama dalam politik, dengan memandang masalah politik dan
negara, semata-mata sebagai faktor saintifik yang rasional. Inilah yang dipandang
sebagai politik modern.
Adian Husaini
berpendapat dalam makalahnya, Liberalisasi Politik, pemikiran sebagian pemikir
dan filsuf –misalnya Machiaveli (w.1527 M) dan Michael Mountaigne (w. 1592 M)–
yang mengingkari keberadaan Tuhan atau menolak hegemoni agama dan gereja
Katolik. Jalan tengah dari keduanya ialah, agama tetap diakui, tapi tidak boleh
turut campur dalam pengaturan urusan masyarakat. Jadi, agama tetap diakui
eksistensinya, tidak dinafikan, hanya saja perannya dibatasi pada urusan privat
saja, yakni interaksi antara manusia dan Tuhannya (seperti aqidah, ibadah
ritual, dan akhlak). Tapi agama tidak mengatur urusan publik, yakni interaksi
antara manusia dengan manusia lainnya, seperti politik, ekonomi, sosial, dan
sebagainya.
Untuk melihat
seperti apakah Machiavelli berpikir, maka sejenak kita mencermati pendapatnya,
“Harus diingat bahwa manusia harus dicintai atau dihancurkan, mereka akan
menuntut balas dendam atas luka ringan mereka, namun mereka tidak akan dapat
melakukan hal serupa apabila mereka terluka parah. Oleh karena itu, luka yang
kita sebabkan haruslah sebesar-besarnya sehingga kita tidak harus takut
akan balasan mereka.”[7] Di halaman lain
dia kembali menulis, “Sebenarnya, tidak ada metode yang paling pasti dalam
mempertahankan sebuah daerah kecuali dengan menghancurkan daerah tersebut. Dan
siapapun yang menjadi penguasa dari sebuah kota yang bebas dan tidak
menghancurkan kota tersebut, hanya dapat berharap akan kehancuran mereka
sendiri karena penduduk kota tersebut akan selalu dapat menemukan sebuah motif
untuk memberontak.
Machiavelli
menilai seperti inilah konsepsi mengenai rakyat yang ditaklukkan , dimana
loyalitas terhadap seorang pemimpin atau raja penakluk hanya memiliki dua
pilihan yaitu dicintai atau dihancurkan. Rakyat yang ditaklukkan akan melakukan
perlawanan kepada penguasa apabila mereka tidak ditaklukkan dan dihancurkan
secara total. Seakan-akan rakyat hanya menjadi obyek dari kekuasaan dan menjadi
alat politik (political tools) bagi penguasa, dicintai apabila dibutuhkan dan
dihancurkan apabila mereka melakukan perlawanan.
KARAKTER
PENGUASA
Lalu
bagaimanakah Machiavelli membingkai sebuah konsep kepemimpinan yang ideal
menurutnya? Dalam buku Il Principle, penulis mencoba memahami permasalahan ini
dimana Machiavelli telah membagi beberapa karakter penguasa yaitu :
Penguasa tidak
perlu melakukan kemurahan hati, Machiavelli menulis, ”Seorang pangeran harus
mau memiliki reputasi sebagai seorang yang kikir, apabila dia berharap dapat
mengindari merampok bawahannya sendiri, apabila dia berharap dia dapat mempertahankan
kekuasaannya, menghindari menjadi miskin dan hina, tidak terpaksa menjadi
tamak, kekikiran ini adalah salah satu cara yang dapat memungkinkannya
berkuasa.”[9]Dia mempertegas, “Oleh karena itu lebih bijak untuk menyandang
nama seseorang yang kikir, yang menyebabkan seseorang dihina tanpa dibenci,
daripada menyebabkan dirinya disebut sebagai orang yang tamak, yang menyebabkan
dirinya dihina dan dibenci.”
Penguasa lebih
baik ditakuti daripada dicintai, Machiavelli menulis, “Apakah lebih baik sang
pangeran dicintai ataukah ditakuti, ataukah dia harus ditakuti lebih daripada
dicintai. Jawabannya adalah ini, bahwa di harus dicintai dan juda ditakuti,
namun karena kedua hal ini sulit berjalan berdampingan, maka lebih aman apabila
sang raja lebih ditakuti daripada dicintai, apabila satu dari kedua hal ini
harus dimiliki.” Kemudian dia melanjutkan, “Karena seringkali manusia secara
umum disebut tidak tahu berterima kasih, munafik, tamak, takut akan bahaya;
selama Anda memberikan keuntungan kepada mereka, mereka adalah milik Anda
sepenuhnya; mereka akan memberikan darah mereka, harta mereka, hidup mereka,
dan anak-anak mereka, dan seperti yang saya katakan sebelumnya, ketika tekanan
dan bahaya mendekat, mereka memberontak.” Machiavelli kembali menegaskan, “Manusia
tidak segan-segan membela dia yang mereka takuti daripada mereka cintai karena
rasa cinta diikat dengan rantai kewajiban, karena manusia pada dasarnya egois,
maka pada saat mereka telah mendapatkan apa yang mereka inginkan, rantai
tersebut akan putus; namun rasa takut dipertahankan oleh hukuman-hukuman yang
menakutkan yang tidak pernah gagal. Akan tetapi, sang pangeran haruslah
menjadikan dirinya ditakuti dengan cara di mana apabila dia tidak dicintai maka
dia tidak boleh dibenci; karena rasa takut dan kebencian dapat berjalan
bersamaan.”
Penguasa wajib
bertindak seperti rubah dan harimau, Machiavelli menulis, “Oleh karena itu
seseorang harus menjadi seekor rubah untuk mengenali perangkap-perangkap, dan
menjadi seekor harimau untuk menakuti rubah. Mereka yang berharap untuk menjadi
harimau saja tidak akan mengerti akan hal ini.” Dialnjutkan dengan, “Dan oleh
karenanya dia harus memiliki pikiran yang fleksibel yang dapat berubah seperti
angin, dan seperti yang ditunjukkan oleh variasi-variasi keberuntungan, dan
seperti yang saya katakan sebelumnya, tiidak menyimpang dari apa yang baik,
apabila mungkin, namun dapat melakukan kejahatan apabila diharuskan.”
Dalam pandangan
Machiavelli moralitas bukanlah sesuatu yang penting, moralitas hanyalah sekadar
pencitraan politik (political imaging) yang dibutuhkan kadang-kadang saja oleh
penguasa, tergambar dalam pendapatnya, “…Dia harus tampak penuh dengan maaf,
iman, integritas, kebaikan, dan agama. Dan tidak ada yang lebih penting
daripada kelihatan memiliki kualitas yang terakhir karena manusia umumnya
dinilai dari apa apa yang dilihat oleh mata daripada apa yang dirasakan tangan.
Karena semua orang dapat melihat namun hanya sedikit orang yang dapat
merasakannya”.
Machiavelli pun
berpikir hasil adalah jauh lebih penting daripada cara mencapainya,
bagaimanapun caranya. Adagium “Tujuan Menghalalkan Cara” dapat ditelusuri dari
cara pandang Machiavelli ini. Melihat dalam konteks logika kebutuhan
(necessity) dimana cara digunakan untuk mencapai tujuan (means and ends logic).
Kesimpulan yang didapatkan adalah kita tidak membutuhkan justifikasi moral
dalam kehidupan. Mengapa manusia tidak berperilaku berdasarkan moral karena
manusia melihat kehidupan berdasarkan cara pandang kebutuhan. Machiavelli
menegaskan dalam tulisannya, “…Dan dalam tindakan-tindakan manusia dan
khususnya tindakan-tindakan para pangeran, yang tidak memiliki pertimbangan,
hasil terakhir adalah segalanya”.
POLITIK YANG
MEMILIKI NURANI?
Apakah politik
hanya memiliki satu pengertian yang sangat profan, duniawi dan amoral seperti
yang diterjemahkan oleh Machiavelli, ataukah paling tidak kita bisa menengok
sebuah konsepsi lain akan politik yang lebih memiliki nurani? Menarik untuk
melihat sebuah konsep lain dari politik yang berangkat dari akar peradaban yang
berbeda, yaitu sebuah konsep Siyasah Syariah.
Abu Ridha dalam
buku, Karakteristik Politik Islam (Syaamil Cipta Media, Bandung, 2004), bahwa
konsep lain menjelaskan Siyasah istilah Siyasatu al Faras, kata Siyasah yang
dinisbatkan kepada pengurusan dan pelayanan seekor kuda[18]. Sehingga paradigma
yang coba dibangun dalam Islam adalah politik Islam yang berorientasi pada
pelayanan. Pendekatan makna dari Siyasah ini lebih dekat kepada makna pelayanan
dibandingkan makna kekuasaan dimana dalam bahasa arab kata imam atau amir
berarti seseorang yang ada di depan atau memerintah dan sekaligus menjadi orang
yang ada di belakang atau diperintah. Sebab kata benda fa’il kadang-kadang juga
berarti maf’ul, oleh karena itu Imam Ibnu Taimiyah mengartikan firman Allah
“Dan jadikanlah kami imam bagi orang orang-orang yang bertakwa”, menjadi “Dan
jadikanlah kami ma’mum bagi orang-orang yang bertakwa”.
Politik dalam
Islam dimaknai sebagai salah satu cara untuk beribadah kepada Allah, sehingga
dalam pandangan ini politik memiliki nilai-nilai spritualitas. Kepemimpinan
politik salam Islam dimaknai sebagai kepemimpinan dua dimensi yaitu dunia dan
akhirat, sebagaimana yang dinyatakan Imam Ghazali, bahwa Islam dan negara
adalah ibarat dua saudara kembar, Islam adalah aqidah spiritual dan aqidah
siyasah sekaligus. Dalam kitabnya, Al Iqtishod fi Al I’tiqod Imam Ghazali
mengatakan, “Karena itu dikatakanlah bahwa agama dan kekuasaan adalah dua
saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan
adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan
segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang lenyap”.
Ulama yang lain
yang berpendapat tentang kepemimpinan politik Islam adalah Al Baqillani,
menurut beliau kepemimpinan dalam Islam harus ada karena beberapa hal yang
tidak bisa ditolak, diantara lain :
1.
Untuk mengatur tentara
guna membentengi ummat dari serangan musuh
2.
Untuk mengawasi ummat
baik yang dhalim (berbuat kriminal) atau yang madhum (yang didhalimi)
3.
Untuk menegakkan hukum
4.
Untuk membagi harta
rampasan (fa’i) kepada ummat Islam
5.
Untuk mengamankan kaum
muslimin dalam ibadah haji dan menyiapkan tentara guna mengawasi musuh
Bagaimanakah
Islam memandang karakter pemimpin negara, apakah terdapat perbedaan yang
signifikan dengan yang disampaikan oleh Machiavelli di atas, penulis mencoba mengambil
pendapat Al Farabi, seorang ulama muslim klasik yang memiliki kriteria-kriteria
orang yang menjadi pimpinan utama negara, beberapa diantaranya yang penting
adalah :
1. Cinta terhadap ilmu
pengetahuan, dapat mengambil manfaat (hikmah) dari apa yang diketahui dan
dirasakannya, suka dikritik, mudah menerima saran, tidak pernah bosan belajar
dan tidak mudah bosan dengan pekerjaan yang dijalaninya
2.
Terpelihara dari
hal-hal yang tidak tidak baik (tidak halal) apa yang dimakan, diminum dan
dinikahi, jauh dari sifat main-main, benci terhadap kenikmatan-kenikmatan
sesaat
3.
Jujur, mencintai
kejujuran dan orang-orang yang jujur, membenci kebohongan dan orang-orang yang
bohong
4.
Terhormat, tidak mudah
tergoda oleh dirham dan dinar (uang dan harta benda lainnya) dan segala sesuatu
yang bersifat duniawi yang rendah dan hina di hadapannya
5.
Adil dan mencintai
keadilan dan orang-orang yang berbuat adil, benci kecurangan dan aniaya beserta
para pelakunya
6.
Pemberani, memiliki motivasi
yang kuat terhadap sesuatu yang dalam pandangannya baik, penuh tanggung jawab,
pemberani dan tidak lemah jiwanya
POLITIK DALAM
RENUNGAN
Setelah penulis
mencoba melihat kembali bagaimana dua pandangan akan kepemimpinan, politik,
kekuasaan dan penguasa. Penulis menilai bahwa Machivelian dalam berpolitik
bukanlah sebuah sikap politik yang harus diambil oleh para pemimpin atau
penguasa kontemporer. Penulis menilai logika tanggung jawab adalah sesuatu yang
harus dikedepankan dalam berpolitik. Bagi penulis, manusia terikat oleh dua
kondisi yaitu tanggung jawab secara horizontal-kepada sesama manusia- dan
tanggung jawab vertikal-kepada Allah SWT-. Kondisi biresponsibility ini gagal
diterjemahkan oleh konsep politik sekuler yang hanya melihat satu dimensi dari
aktivitas berpolitik yaitu dimensi duniawi an sich, sehingga para penguasa
tidak merasa memiliki tanggung jawab vertikal kepada Allah, dan diterjemahkan
secara vulgar dalam berpolitik dengan menghalalkan segala cara, penipuan,
pembunuhan, pemerasan dan sebagainya.
Seharusnya
politik kembali dijalankan dengan nurani yang bersumber kepada wahyu-wahyu
Ketuhanan yang benar. Karena pada hakikatnya politik adalah salah satu ekspresi
manusia beribadah kepada Tuhan, yang diterjemahkan dalam sebuah aktivitas pelayanan
kepada rakyat, bukannya menjadi sebuah alat menjatuhkan manusia dalam
kebinasaan.



0 comments:
Post a Comment