PERMASALAHAN ANTARA AGAMA DAN NEGARA - Uki Media Network
Headlines News :
'

Home » , » PERMASALAHAN ANTARA AGAMA DAN NEGARA

PERMASALAHAN ANTARA AGAMA DAN NEGARA

Written By Unknown on Saturday, October 27, 2012 | 5:27 AM

Mencermati pemikiran yang ditawarkan oleh Machiavelli dalam bukunya Il Principle, membuat penulis berpikir ulang, apakah pola kepemimpinan ini yang dijadikan rujukan dalam praktik kehidupan pemerintah dan berpolitik pada saat ini? Dalam pandangan Machiavelli kekejaman, terror dan kekerasan adalah institusi sah dalam mempertahankan kekuasaan. Sejenak kita melihat pendapatnya, “Jika situasi menjamin, penguasa dapat melanggar perjanjian dengan negara lain, dan melakukan kekejaman dan terror. Ditulis dalam Il Principle : “It is necessary for a prince, who wishes to maintain himself, to learn how not to be good, and to use this knowledge or not use it, according to the necessity of the case.” Yang terpenting dari pemikiran Machiavelli, adalah ia telah mengangkat persoalan politik dari aspek moral dan ketuhanan.
Mengangkat aspek moral dan ketuhanan dalam persoalan politik adalah sebuah reaksi yang diberikan oleh para cendekiawan Eropa-Kristen Abad Pertengahan terhadap institusi kekuasaan paling dominan pada saat itu yaitu institusi Kepausan yang memerintah Eropa dengan konsepsi Christendom (Kekaisaran Kristen di bawah Kepausan). Adian Husaini menyebutkan mengenai reaksi yang diberikan para cendekiawan,”…Dominasi kekuasaan kaum agamawan dalam politik kemudian menyulut berbagai protes.  Tahun 1887, Lord Acton seperti menyindir  hegemoni kekuasaan agama dan menulis surat kepada Bishop Mandell Creighton. Isinya antara lain: “All power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely.”  (Peter de Rosa, Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy,  (London: Bantam Press, 1991)).”
Syamsuddin Arif mencoba menjelaskan bagaimana konsep sekularisasi itu berkembang dalam peradaban Eropa, diantaranya adalah, “Salah satunya mengatakan bahwa sekularisasi bermula dari pergolakan pikiran dan pertarungan gagasan antara (battles of minds and ideas), seperti tercermin dalam kasus Copernicus, Galileo, Darwin dan para saintis lain yang menentang doktrin Gereja. Begitu juga di bidang teologi, muncul tokoh-tokoh seperti Eichorn dan Strauss yang menerapkan berbagai metode historis-kritis dalam kajian Bibel”
Penulis menilai dalam kacamata inilah pemikiran Machiavelli dibingkai. Bagaimana konsepsi pemisahan antara agama dan ruang publik terjadi karena, Barat memandang dominasi agama akan mengantarkan mereka pada masa kegelapan masa lampau (The Dark Ages) ketika Gereja berkuasa. Adian Husaini berpendapat, “mereka selalu beralasan, bahwa jika agama dicampur dengan politik, maka akan terjadi “politisasi agama”; agama haruslah dipisahkan dari negara. Agama dianggap sebagai wilayah pribadi dan politik (negara) adalah wilayah publik; agama adalah hal yang suci sedangkan politik adalah hal yang kotor dan profan.”
POLITIK ALA MACHIAVELLI 
Sejarawan Marvin Perry, mencatat dalam bukunya, Western Civilization: A Brief History, (New York: Houghton Mifflin Company, 1997), bahwa nilai penting dari pemikiran Machiaveli adalah usahanya melepaskan pemikiran politik dari kerangka agama dan meletakkan politik semata-mata urusan ilmuwan politik.  “In secularizing and rationalizing political philosophy, he initiated a trend  of thought that we recognized as distinctly modern,” tulis Perry. Jadi, sumbangan terbesar Machiavelli adalah menghilangkan faktor agama dalam politik, dengan memandang masalah politik dan negara, semata-mata sebagai faktor saintifik yang rasional. Inilah yang dipandang sebagai politik modern.
Adian Husaini berpendapat dalam makalahnya, Liberalisasi Politik, pemikiran sebagian pemikir dan filsuf –misalnya Machiaveli (w.1527 M) dan Michael Mountaigne (w. 1592 M)– yang mengingkari keberadaan Tuhan atau menolak hegemoni agama dan gereja Katolik. Jalan tengah dari keduanya ialah, agama tetap diakui, tapi tidak boleh turut campur dalam pengaturan urusan masyarakat. Jadi, agama tetap diakui eksistensinya, tidak dinafikan, hanya saja perannya dibatasi pada urusan privat saja, yakni interaksi antara manusia dan Tuhannya (seperti aqidah, ibadah ritual, dan akhlak). Tapi agama tidak mengatur urusan publik, yakni interaksi antara manusia dengan manusia lainnya, seperti politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya.
Untuk melihat seperti apakah Machiavelli berpikir, maka sejenak kita mencermati pendapatnya, “Harus diingat bahwa manusia harus dicintai atau dihancurkan, mereka akan menuntut balas dendam atas luka ringan mereka, namun mereka tidak akan dapat melakukan hal serupa apabila mereka terluka parah. Oleh karena itu, luka yang kita sebabkan haruslah sebesar-besarnya sehingga kita tidak harus takut akan  balasan mereka.”[7] Di halaman lain dia kembali menulis, “Sebenarnya, tidak ada metode yang paling pasti dalam mempertahankan sebuah daerah kecuali dengan menghancurkan daerah tersebut. Dan siapapun yang menjadi penguasa dari sebuah kota yang bebas dan tidak menghancurkan kota tersebut, hanya dapat berharap akan kehancuran mereka sendiri karena penduduk kota tersebut akan selalu dapat menemukan sebuah motif untuk memberontak.
Machiavelli menilai seperti inilah konsepsi mengenai rakyat yang ditaklukkan , dimana loyalitas terhadap seorang pemimpin atau raja penakluk hanya memiliki dua pilihan yaitu dicintai atau dihancurkan. Rakyat yang ditaklukkan akan melakukan perlawanan kepada penguasa apabila mereka tidak ditaklukkan dan dihancurkan secara total. Seakan-akan rakyat hanya menjadi obyek dari kekuasaan dan menjadi alat politik (political tools) bagi penguasa, dicintai apabila dibutuhkan dan dihancurkan apabila mereka melakukan perlawanan.
KARAKTER PENGUASA
Lalu bagaimanakah Machiavelli membingkai sebuah konsep kepemimpinan yang ideal menurutnya? Dalam buku Il Principle, penulis mencoba memahami permasalahan ini dimana Machiavelli telah membagi beberapa karakter penguasa yaitu :
Penguasa tidak perlu melakukan kemurahan hati, Machiavelli menulis, ”Seorang pangeran harus mau memiliki reputasi sebagai seorang yang kikir, apabila dia berharap dapat mengindari merampok bawahannya sendiri, apabila dia berharap dia dapat mempertahankan kekuasaannya, menghindari menjadi miskin dan hina, tidak terpaksa menjadi tamak, kekikiran ini adalah salah satu cara yang dapat memungkinkannya berkuasa.”[9]Dia mempertegas, “Oleh karena itu lebih bijak untuk menyandang nama seseorang yang kikir, yang menyebabkan seseorang dihina tanpa dibenci, daripada menyebabkan dirinya disebut sebagai orang yang tamak, yang menyebabkan dirinya dihina dan dibenci.”
Penguasa lebih baik ditakuti daripada dicintai, Machiavelli menulis, “Apakah lebih baik sang pangeran dicintai ataukah ditakuti, ataukah dia harus ditakuti lebih daripada dicintai. Jawabannya adalah ini, bahwa di harus dicintai dan juda ditakuti, namun karena kedua hal ini sulit berjalan berdampingan, maka lebih aman apabila sang raja lebih ditakuti daripada dicintai, apabila satu dari kedua hal ini harus dimiliki.” Kemudian dia melanjutkan, “Karena seringkali manusia secara umum disebut tidak tahu berterima kasih, munafik, tamak, takut akan bahaya; selama Anda memberikan keuntungan kepada mereka, mereka adalah milik Anda sepenuhnya; mereka akan memberikan darah mereka, harta mereka, hidup mereka, dan anak-anak mereka, dan seperti yang saya katakan sebelumnya, ketika tekanan dan bahaya mendekat, mereka memberontak.” Machiavelli kembali menegaskan, “Manusia tidak segan-segan membela dia yang mereka takuti daripada mereka cintai karena rasa cinta diikat dengan rantai kewajiban, karena manusia pada dasarnya egois, maka pada saat mereka telah mendapatkan apa yang mereka inginkan, rantai tersebut akan putus; namun rasa takut dipertahankan oleh hukuman-hukuman yang menakutkan yang tidak pernah gagal. Akan tetapi, sang pangeran haruslah menjadikan dirinya ditakuti dengan cara di mana apabila dia tidak dicintai maka dia tidak boleh dibenci; karena rasa takut dan kebencian dapat berjalan bersamaan.”
Penguasa wajib bertindak seperti rubah dan harimau, Machiavelli menulis, “Oleh karena itu seseorang harus menjadi seekor rubah untuk mengenali perangkap-perangkap, dan menjadi seekor harimau untuk menakuti rubah. Mereka yang berharap untuk menjadi harimau saja tidak akan mengerti akan hal ini.” Dialnjutkan dengan, “Dan oleh karenanya dia harus memiliki pikiran yang fleksibel yang dapat berubah seperti angin, dan seperti yang ditunjukkan oleh variasi-variasi keberuntungan, dan seperti yang saya katakan sebelumnya, tiidak menyimpang dari apa yang baik, apabila mungkin, namun dapat melakukan kejahatan apabila diharuskan.”
Dalam pandangan Machiavelli moralitas bukanlah sesuatu yang penting, moralitas hanyalah sekadar pencitraan politik (political imaging) yang dibutuhkan kadang-kadang saja oleh penguasa, tergambar dalam pendapatnya, “…Dia harus tampak penuh dengan maaf, iman, integritas, kebaikan, dan agama. Dan tidak ada yang lebih penting daripada kelihatan memiliki kualitas yang terakhir karena manusia umumnya dinilai dari apa apa yang dilihat oleh mata daripada apa yang dirasakan tangan. Karena semua orang dapat melihat namun hanya sedikit orang yang dapat merasakannya”.
Machiavelli pun berpikir hasil adalah jauh lebih penting daripada cara mencapainya, bagaimanapun caranya. Adagium “Tujuan Menghalalkan Cara” dapat ditelusuri dari cara pandang Machiavelli ini. Melihat dalam konteks logika kebutuhan (necessity) dimana cara digunakan untuk mencapai tujuan (means and ends logic). Kesimpulan yang didapatkan adalah kita tidak membutuhkan justifikasi moral dalam kehidupan. Mengapa manusia tidak berperilaku berdasarkan moral karena manusia melihat kehidupan berdasarkan cara pandang kebutuhan. Machiavelli menegaskan dalam tulisannya, “…Dan dalam tindakan-tindakan manusia dan khususnya tindakan-tindakan para pangeran, yang tidak memiliki pertimbangan, hasil terakhir adalah segalanya”.
POLITIK YANG MEMILIKI NURANI?
Apakah politik hanya memiliki satu pengertian yang sangat profan, duniawi dan amoral seperti yang diterjemahkan oleh Machiavelli, ataukah paling tidak kita bisa menengok sebuah konsepsi lain akan politik yang lebih memiliki nurani? Menarik untuk melihat sebuah konsep lain dari politik yang berangkat dari akar peradaban yang berbeda, yaitu sebuah konsep Siyasah Syariah.
Abu Ridha dalam buku, Karakteristik Politik Islam (Syaamil Cipta Media, Bandung, 2004), bahwa konsep lain menjelaskan Siyasah istilah Siyasatu al Faras, kata Siyasah yang dinisbatkan kepada pengurusan dan pelayanan seekor kuda[18]. Sehingga paradigma yang coba dibangun dalam Islam adalah politik Islam yang berorientasi pada pelayanan. Pendekatan makna dari Siyasah ini lebih dekat kepada makna pelayanan dibandingkan makna kekuasaan dimana dalam bahasa arab kata imam atau amir berarti seseorang yang ada di depan atau memerintah dan sekaligus menjadi orang yang ada di belakang atau diperintah. Sebab kata benda fa’il kadang-kadang juga berarti maf’ul, oleh karena itu Imam Ibnu Taimiyah mengartikan firman Allah “Dan jadikanlah kami imam bagi orang orang-orang yang bertakwa”, menjadi “Dan jadikanlah kami ma’mum bagi orang-orang yang bertakwa”.
Politik dalam Islam dimaknai sebagai salah satu cara untuk beribadah kepada Allah, sehingga dalam pandangan ini politik memiliki nilai-nilai spritualitas. Kepemimpinan politik salam Islam dimaknai sebagai kepemimpinan dua dimensi yaitu dunia dan akhirat, sebagaimana yang dinyatakan Imam Ghazali, bahwa Islam dan negara adalah ibarat dua saudara kembar, Islam adalah aqidah spiritual dan aqidah siyasah sekaligus. Dalam kitabnya, Al Iqtishod fi Al I’tiqod Imam Ghazali mengatakan, “Karena itu dikatakanlah bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang lenyap”.
Ulama yang lain yang berpendapat tentang kepemimpinan politik Islam adalah Al Baqillani, menurut beliau kepemimpinan dalam Islam harus ada karena beberapa hal yang tidak bisa ditolak, diantara lain :
1.      Untuk mengatur tentara guna membentengi ummat dari serangan musuh
2.      Untuk mengawasi ummat baik yang dhalim (berbuat kriminal) atau yang madhum (yang didhalimi)
3.      Untuk menegakkan hukum
4.      Untuk membagi harta rampasan (fa’i) kepada ummat Islam
5.      Untuk mengamankan kaum muslimin dalam ibadah haji dan menyiapkan tentara guna mengawasi musuh
Bagaimanakah Islam memandang karakter pemimpin negara, apakah terdapat perbedaan yang signifikan dengan yang disampaikan oleh Machiavelli di atas, penulis mencoba mengambil pendapat Al Farabi, seorang ulama muslim klasik yang memiliki kriteria-kriteria orang yang menjadi pimpinan utama negara, beberapa diantaranya yang penting adalah :
1.  Cinta terhadap ilmu pengetahuan, dapat mengambil manfaat (hikmah) dari apa yang diketahui dan dirasakannya, suka dikritik, mudah menerima saran, tidak pernah bosan belajar dan tidak mudah bosan dengan pekerjaan yang dijalaninya
2.      Terpelihara dari hal-hal yang tidak tidak baik (tidak halal) apa yang dimakan, diminum dan dinikahi, jauh dari sifat main-main, benci terhadap kenikmatan-kenikmatan sesaat
3.      Jujur, mencintai kejujuran dan orang-orang yang jujur, membenci kebohongan dan orang-orang yang bohong
4.      Terhormat, tidak mudah tergoda oleh dirham dan dinar (uang dan harta benda lainnya) dan segala sesuatu yang bersifat duniawi yang rendah dan hina di hadapannya
5.      Adil dan mencintai keadilan dan orang-orang yang berbuat adil, benci kecurangan dan aniaya beserta para  pelakunya
6.      Pemberani, memiliki motivasi yang kuat terhadap sesuatu yang dalam pandangannya baik, penuh tanggung jawab, pemberani dan tidak lemah jiwanya
POLITIK DALAM RENUNGAN
Setelah penulis mencoba melihat kembali bagaimana dua pandangan akan kepemimpinan, politik, kekuasaan dan penguasa. Penulis menilai bahwa Machivelian dalam berpolitik bukanlah sebuah sikap politik yang harus diambil oleh para pemimpin atau penguasa kontemporer. Penulis menilai logika tanggung jawab adalah sesuatu yang harus dikedepankan dalam berpolitik. Bagi penulis, manusia terikat oleh dua kondisi yaitu tanggung jawab secara horizontal-kepada sesama manusia- dan tanggung jawab vertikal-kepada Allah SWT-. Kondisi biresponsibility ini gagal diterjemahkan oleh konsep politik sekuler yang hanya melihat satu dimensi dari aktivitas berpolitik yaitu dimensi duniawi an sich, sehingga para penguasa tidak merasa memiliki tanggung jawab vertikal kepada Allah, dan diterjemahkan secara vulgar dalam berpolitik dengan menghalalkan segala cara, penipuan, pembunuhan, pemerasan dan sebagainya.
Seharusnya politik kembali dijalankan dengan nurani yang bersumber kepada wahyu-wahyu Ketuhanan yang benar. Karena pada hakikatnya politik adalah salah satu ekspresi manusia beribadah kepada Tuhan, yang diterjemahkan dalam sebuah aktivitas pelayanan kepada rakyat, bukannya menjadi sebuah alat menjatuhkan manusia dalam kebinasaan.
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

 
Support : Uki Kifli | Bacalah | Bacalah
Copyright © 2011. Uki Media Network :: Berkembang Dalam Tantangan
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger