Para ilmuwan, sastrawan, dan
filosof menaruh perhatian besar kepada pendidikan. Bahkan mereka memberikan
nilai terhormat dan menempatkan posisi yang sangat strategis untuk pendidikan. Al-Ghazali misalnya pernah berkata,
“siapa yang memperoleh ilmu pengetahuan dan ia bisa mengambil daya guna untuk
kepentingan dirinya, kemudian mentransformasikannya untuk kepentingan orang
lain maka orang tersebut diibaratkan matahari yang bersinar untuk kepentingan
dirinya dan lainnya”. Abu ‘Amer bi
Al-‘Ala’ pernah ditanya, apakah dianggap baik, seseorang yang berusia
lanjut masih belajar ?”. ia menjawab, “Jika orang tersebut masih dianggap baik
untuk hidup, maka belajarnya pun dianggap baik”.
Sulit dibantah bahwa belajar
atau memperoleh kesempatan belajar merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan
merupakan kebutuhan yang sangat mendasar dalam kehidupan umat manusia. Tidak
ada bedanya dengan kebutuhan kita terhadap air, udara, dan makan. Jika kita
ingin kehidupan yang wajar maka belajar merupakan keharusan dan kita memang
diwajibkan untuk melaksanakan pendidikan pengajaran. Pendidikan dan pengajaran
adalah sesuatu yang sangat layak untuk dimiliki setiap manusia yang ingin
terangkat derajatnya. Ilmu merupakan pemberian yang sangat bernilai, dan sangat
pantas untuk ditransformasikan. Sedangkan kebodohan adalah akibat hilangnya
fenomena dan proses pendidikan dan pengajaran, juga menjadi awal sebuah
kehancuran. Kehidupan yang berlangsung dilingkupi suasana kebodohan adalah
kehidupan yang sia-sia belaka. Sedangkan ilmu merupakan kebutuhan dasar manusia
karena menjadi sarana penting untuk bisa menjalani kehidupan secara wajar. Ilmu
ibarat sayap yang dengannya manusia bisa mencari hidup dan kehidupan kapan saja
dan dimana saja.
Perang dunia pertama telah
menyadarkan bangsa-bangsa Amerika dan Eropa untuk mengadakan reformasi dalam
bidang pendidikan dan pengajaran. Inggris mulai berpikir tentang sarana-sarana
yang bisa menggerakkan, membangkitkan, dan mengembangkan pendidikan dan
pengajaran. Salah satu upaya Inggris adalah melakukan perubahan program WAJIB
BELAJAR dari batas usia 14 tahun menjadi 18 tahun. Perubahan ini diperkuat
dengan Undang-Undang pendidikan tahun 1918 yang ternyata dengan perubahan ini
membawa dampak positif. Akhirnya, kuwalitas pendidikan dan pengajaran selalu
meningkat dan membawa peningkatan pada sumber daya manusia. Proyek ini
menjadikan anggaran belanja negara lebih besar dari anggaran belanja yang
dibebankan (dianggarkan) sebelum perang. Akan tetapi, anggaran yang cukup besar
ini bukanlah suatu beban karena Inggris beranggapan bahwa belajar merupakan
kewajiban yang utama dan menjadi sarana yang sangat vital untuk membangun
bangsa menjadi lebih maju. Tidak mengherankan, jika program ini mendapat
dukungan yang sangat besar dari rakyat karena mereka merakan manfaat dan dampak
positif dari reformasi dalam bidang pendidikan dan pengajaran.
Seorang filosof Irasmes pernah berkata, “Jika saya
diberi tugas-tugas pendidikan dan pengajaran , saya akan berjanji akan
melaksanakan dengan jiwa yang berilmu”. Barangkali kita tidak perlu lagi
menjelaskan dampak positif kepemilikan ilmu pengetahuan dan aktivitas dalam
bidang pendidikan dan pengajaran, serta dampak negatif dari ketidaktahuan
(kebodohan) dan buta huruf. Adalah sangat mustahil, bila suatu bangsa menjadi
maju kalau tidak dengan cara melakukan penyebaran, pemerataan, serta
peningkatan pendidikan dan pengajaran. Lebih dari itu, ilmu merupakan sarana
yang paling tepat untuk menghindari prilaku yang jahat, bodoh, dan hina.
Kemajuan di bidang kebuadayaan dan peradaban serta perkembangan di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sekarang ini kita saksikan pada bangsa-bangsa
yang sudah maju merupakan hasil positif dari kemajuan di bidang pendidikan dan
pengajaran yang tersebar dan merata di semua lapisan masyarakat.
0 comments:
Post a Comment