Semoga
kisah ini dapat memberikan manfaat bagi kita yang sedang menuntut ilmu.
Dikisahkan, di negeri Arab, ada
pemuda yang terhormat karena ketinggian ilmunya. Dia disukai oleh banyak orang
karena budi pekerti dan ibadahnya. Ilmunya yang tinggi menyebabkan namanya
harum ke seantero negeri. Ibunya sangat bangga mempunyai anak saleh yang
dihormati setiap orang. Dimana – mana, namanya menjadi bahan pembicaraan setiap
orang.
Tapi, semua itu pupus sudah oleh
suatu kejadian yang harus ditanggung oleh sang anak. Peristiwa itu begitu
menyakitkan! Suatu hari, pemuda saleh tersebut ingin menuntut ilmu ke Makkah.
Dia merasa ilmu yang dimilikinya masih belum cukup. Lantas, dia membujuk ibunya
agar mengizinkannya pergi. Dengan deraian air mata, ibunya berkata. “Anakku,
kau mutiara bagiku. Kau tentu tahu, ibu hidup berdua denganmu! Jika kau
meninggalkan ibu, maka ibu akan hidup sebatangkara. Ibu tentu akan menderita
tanpamu jika kau jadi pergi ke Makkah. Ibu sudah tua, ibu tak akan sanggup berpisah
denganmu walau sekejap saja, apalagi untuk bertahun – tahun lamanya. Batalkan
saja niatmu itu, nak!”
Pemuda itu sangat kecewa dengan kata
– kata ibunya. Tetapi semangatnya untuk menuntut ilmu ke Makkah tidak pernah
luntur dari hatinya. Malah dia nekad tetap pergi, karena niatnya sudah tidak
dapat dibendung lagi. Maka, keesokan harinya, selepas mengerjakan shalat subuh,
dia berangkat ke Makkah tanpa menghiraukan nasihat ibunya lagi.
Kini, tinggallah ibu yang sudah tua
itu sendiri di rumah, sebatangkara, dengan deraian air mata. Hatinya begitu
sakit mengingat anaknya yang tak mendengar nasihatnya lagi. “Ya Allah, sungguh anak itu telah membakar
hati hamba-Mu dengan kepergiannya, maka, turunkanlah siksa kepadanya.”
Setiap kali selesai shalat, ibunya berdo’a seperti itu, karena kejengkelan hati
yang teramat dalam dari seorang ibu kepada anaknya. Anak yang dikenal saleh,
berbakti, tetapi malah menyakiti hati ibunya.
Dalam
waktu yang sama, anaknya sudah sampai di Makkah. Di sana, dia begitu giat
mencari ilmu. Dan, pada suatu malam, sebuah musibah menimpa dirinya. Pada waktu
itu, ada pencuri masuk ke rumah saudagar kaya raya, tetapi perbuatan itu
diketahui oleh tuan rumah. Pencuri itu berlari kencang untuk menyelamatkan
diri. Tuan rumah itu terus mengejarnya hingga sampai di sebelah masjid. Karena
terlalu panik, pencuri itu terus masuk ke dalam masjid untuk berlindung.
Kebetulan, pada saat itu, pemuda itu sedang khusyuk berzikir. Maka, untuk
menyelamatkan diri, itulah satu – satunya cara yang dianggapnya paling tepat.
Pencuti itu berteriak kencang sambil menudingkan jarinya ke arah pemuda itu.
“Pencuriiiiiiiiiiiiiiii.............,
Pencuriiiiiiiiiiiiiiiii...........!” Mendengar teriakan itu, tuan rumah
tersebut berlari masuk ke dalam masjid dan menangkap pemuda itu, lalu
menyeretnya keluar masjid. Kemudian, tuan rumah tersebut mengikat tangannya dan
membawanya untuk menghadap raja. Dengan perasaan marah, tuan rumah itu
menceritakan segala kesalahan pemuda tersebut. Dan karena pencuri itu
memberikan kesaksian palsu sementara pemuda itu tidak mampu mendatangkan saksi
untuk dapat menyangkalnya, maka sang raja itu langsung menjatuhkan hukuman
berat kepada pemuda itu : kedua kaki dan
tangannya dipotong dan kedua biji matanya dicungkil. Denga perasaan sakit,
pemuda itu menerima hukuman sang raja.
Setelah
hukuman dilaksanakan, sang raja masih memerintahkan agar pemuda itu diarak.
Dan, di sepanjang jalan, pegawai – pegawai raja itu berkata kepada orang –
orang dengan keras sehingga semua orang dapat menyaksikan dan mendengarnya. “Inilah akibatnya kalau pencuri barang milik
orang laiiiinnnn....!” Sewaktu perarakan itu sampai di sebuah pasar, pemuda
yang dituduh mencuri itu berkata kepada pegawai raja.
“Wahai
pegawai, jangan engkau berkata begitu, sebaliknya berkatalah begini, “Inilah balasan kalau anak mendurhakai
ibunya.” Para pegawai yang mendengar kata – kata pemuda itu menjadi heran.
Mereka ragu – ragu, apakah ucapan pemuda itu betul atau pura – pura? Akhirnya,
mereka menyelidiki latar belakang kehidupan pemuda itu, dan ternyata, pemuda
itu bukan pencuri sebenarnya. Dengan perasaan kasihan, para pegawai itu
membebaskannya dan mengantarkannya pulang ke rumah ibunya.
Ketika
sampai di pekarangan ibunya, para pagawai itu terus meletakkannya di depan
rumah. Keadaannya yang cacat menyebabkan dia tidak dapat berbuat apa – apa
kecuali memanggil – manggil dari luar. Dari dalam rumah, terdengar ibunya
berdo’a. “Ya Allah, apabila telah turun
cobaan kepada anakku, kembalikan dia ke rumah ini supaya hamba dapat
melihatnya.” Oleh karena dia tidak tahan mendengar do’a ibunya itu, tanpa
disadari, air matanya jatuh bercucuran dan tidak bisa dibendung lagi. Lantas,
dia berpura – pura menjadi pengemis.
“Ya tuan, berilah
hambah sedekah.” Datanglah kesini.” “Bagaimana saya dapat masuk, sedangkan saya
tidak mempunyai kaki.” “Kalau begitu ulurkan tanganmu,” jawab
ibunya. “Tuan, maafkan hamba, karena saya
tidak mempunyai tangan, sebab telah dipotong!” “Kalau begitu, bagaimana aku
dapat memberimu makan, sedangkan aku bukan muhrimmu.” “Tuan jangan khawatir,
karena kedua mata hamba buta.”
Ibunya
yang masih belum mengetahui bahwa orang yang di luar rumahnya itu anaknya,
terpaksa keluar membawa sepotong roti untuk disuapkan ke mulut pengemis itu.
Ketika roti hendak disuapkan ke mulutnya, pengemis itu terus merebahkan dirinya
di pangkuan ibunya sambil menangis. “Ibu,
maafkan aku. Aku adalah anak ibu yang telah mengalami nasib seperti ini, karena
telah berbuat dosa kepada ibu. Maafkan saya, ibu!” setelah tahu bahwa
pengemis itu adalah anaknya, sang ibu terus memeluknya sambil menangis, meraung
– raung, karena melihat keadaan anaknya yang mengerikan. Maka, karena tidak
sanggup melihat penderitaan anaknya, dia lalu berdo’a.
“Ya Allah, saksikan
bahwa semua kesalahan anakku telah hamba maafkan. Tetapi, siksa anakku sungguh
mengerikan! Hamba tidak sampai hati melihat keadaan anakku yang cacat
sedemikian rupa. Ya Allah, akhirilahnya hidupku bersama anakku ini agar kami
tidak menanggung malu.” Dengan kehendak Allah,
do’a ibu itu dikabulkan. Dan, akhirnya, dia dan anaknya mati bersama – sama.
Masya
Allah, renungilah, petiklah hikmah di dalamnya. Tidak ada alasan bagi kita
untuk mendurhakai ibu kita. Sebaik apapun pekerjaan yang ingin kita lakukan
ketika tidak mendapatkan ridha dari ibu kita maka tinggalkanlah. Karena itu
akan mendatangkan malapetaka bagi kita. Kisah ini dasarikan dari buku “Ajaibnya
Do’a Ibu”.
0 comments:
Post a Comment