Dalam
sebuah tulisan berjudul “Memulyakan Kehidupan”, Mochtar Buchory menyimpulkan
ada tiga tujuan dari pendidikan. Pertama, agar peserta didik bisa menghidupi
diri sendiri. Kedua, agar peserta didik bisa bermanfaat lebih dengan menghidupi
orang lain. Dan ketiga, inilah yang jarang diungkap, yakni untuk memuliakan
kehidupan.
Untuk
tujuan pertama, ternyata tidak semua sekolah bisa menyiapkan peserta untuk
menghidupi diri sendiri. Bila sarjana saja tidak siap pakai, bagaimana lagi
dengan hanya SMU. Sampai hari ini sekolah masih sibuk dengan fungsinya yaitu
transfer pengetahuan yang ternyata kebanyakan Cuma wacana. Pengetahuan yang
sekadar wacana, sulit bisa dijadikan alat mencari nafkah. Sebabnya jelas itu
bukan keterampilan.
Sementara
sekolah kejuruan yang mengajarkan keterampilan, ironinya malah banyak yang
ditutup. Masih ingat di tahun 80-an, untuk hal seperti ini terjadi diskursus
antara wijojonomics dan habibienomics. Habibie tersudut karena dituduh
kerdilkan pendidikan yang berorientasi siap kerja. Karenanya perlahan-lahan
sekolah kejuruan gulung tikar. Pertama SPG dilikuidasi. STM pembangunan di
Jakarta yang prestatif pun limbung. Sekolah Asisten Apoteker (SAA) sebagian
juga almarhum. Dan bagi sebagian pihak, bencana terbesar adalah diubahnya IKIP
menjadi universitas. Akhirnya kini kursus pendidikan praktis yang siap kerja
bermunculan bak jamur.
Tujuan
kedua yaitu memberi kehidupan bagi orang lain, ini bicara kebaikan dalam
wilayah karakter. Inilah yang tak banyak dibahas di sekolah. Memberi kehidupan
bagi orang lain bisa diterjemahkan dalam penciptaan lapangan kerja.
Pertanyaannya, benarkah penciptaan lapangan kerja itu karena memang ingin
membantu orang lain. Jangan-jangan jika memang bisa dikerjakan sendiri, atau
bisa diganti mesin, pekerjaan itu tak akan diberikan pada orang lain.
Soal
yang lain lagi adalah, dimana sekolah yang sungguh-sungguh mendidik siswa untuk
memahami “kemuliaan hidup”. Memahami “kemuliaan hidup” ini bukan perkara mudah.
Ini bicara nilai kehidupan, yang satu bangsa berbeda nilainya dengan bangsa
lain. Maka gaya hidup negara maju jadi besi sembrani yang begitu mempesona
untuk ditiru. Bagi negara seperti Indonesia, apa yang dilakukan khususnya oleh
orang barat dianggap serba baik.
Untuk
mengkal itu sekarang tinggal tergantung pada pendidikan agama. Sedang
pendidikan budi pekerti telah lama hilang atau kalaupun ada hanya sekadar
tempelan saja, bukan pelajaran inti. Wajar bila anak-anak sekarang pun
kebanyakan tidak lagi paham apa itu budi pekerti. Padahal pendidikan budi
pekerti amat penting. Latihan budi pekerti merupakan salah satu metode menanam
karakter. Tanpa pendidikan budi pekerti, juga pelajaran agama yang Cuma
beberapa jam per minggu, perilaku anak-anak berkembang tanpa pembinaan. Tanpa
pembinaan, perilaku anak-anak lebih didominasi tabiat. Perilaku buruk yang
tidak usah dididik, otomatis berkembang dengan sendirinya.
Ujungnya,
ketika ujian berlangsung dimanapun di Indonesia, hampir tak pernah tanpa
kecurangan. Sebelum pada siswa, tanyakan pada diri sendiri, pernahkah kita
mencontek saat ujian atau ulangan? Jika tidak, berapa persen yang tak pernah
curang. Karena sudah biasa, mencontek bagi siswa di Indonesia sudah jadi
tradisi. “Enggak nyontek, enggak gaul” katanya. Yang tidak mau memberi contekan
ke temannya, bisa-bisa malah dikucilkan.
Soal
ujian bocor, sudah jadi tradisi sekolah di Indonesia karena terjadi barangkali sudah
sejak tahun 70-an hingga kini. Soal “Joki Soal” masuk PTN, terus terjadi dari
tahun 80-an juga hingga kini. Soal ujian diulang lagi, juga terjadi dan
berulang terus di beberapa daerah. Hingga para pembuat soal, para pekerja
percetakan, dan pihak-pihak terkait telah disumpah untuk tak bocorkan dokumen
ujian. Namun tetap bocor juga.
Antara
mencontek dan ujian bocor, mana lebih dahulu? Sulit menjawab seperti mana lebih
dahulu antara ayam dan telur. Tapi untuk mencontek dan ujian bocor, agaknya
mencontek lebih dahulu ada. Dulu hingga akhir tahun 70, sekolah yang ujiannya
bocor terasa hina sekali. Sekarang ujian bocor dianggap lumrah. Mencontek telah
jadi tradisi. Kini ujian bocor pun telah jadi kultur baru. Entah apa masih
berlaku pepatah, “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”.
Memang
pasti tetap ada guru yang melarang siswa mencontek. Tapi berapa banyak guru
yang tak relah terhina profesi pendidiknya. Hanya mungkin juga karena kasihan
pada murid, guru yang idealis pun akhirnya pura-pura tak tahu. Berat tidak
berat, akhirnya diam dan membiarkan murid mencontek. Atau karena khawatir nama
sekolah jadi buruk, anak-anak bukan lagi hanya dibiarkan mencontek bahkan
diberi jawaban. Bukan hanya satu, tapi mungkin juga malah hampir semua jawaban.
Atau
yang terjadi adalah pengawasan formalitas. Saat pengawas ujian dari luar
sekolah datang, tidak ada satupun siswa yang bisa mencontek. Suasana jadi
hening dan terasa amat menegangkan. Barangkali tidak ada siswa yang berani
mendongakkan kepala apalagi melihat temannya. Tetapi begitu pengawas pergi,
suasan kembali cair dan hiruk pikuk percontekan dimulai lagi. Guru hanya bisa
tersenyum meski mungkin hatinya juga terasa galau.
Inilah
kecurangan demi kecurangan yang telah dilatih sejak SD. Untuk memacu kapasitas,
cara curang tersebut dilakukan dengan terus berulang-ulang. Kecurangan jadi
kebiasaan baru yang dibenarkan. Kapabilitas yang ada pun jadi terbiasa
melakukan kecurangan untuk tercapainya sesuatu. Untuk meraih ijazah dan STTB,
kita semua tahu bahwa itu dilakukan dengan cara-cara yang sesungguhnya tak bisa
dibenarkan.
Sifat
buruk mencontek telah dianggap lumrah. Yang meresakan justru ini dimulai dari
pendidikan dasar. Tabiat buruk dibiarkan bahkan dilatih. Yang diam-diam
disadari atau tidak akan berpengaruh jadi perilaku. Begitu dalam kondisi kritis
dan genting, apapun akan dilakukan. Begitu ada kesempatan untuk meraih sesuatu,
segera ditunaikan dengan cara apapun.
Inilah
yang terus terjadi. Banyak sekolah yang mengajarkan pengetahuan dan
keterampilan. Sayangnya untuk meningkatkan kompetensi itu bukan diraih dengan
penerapan sifat baik melainkan dengan sifat buruk. Sekolah tidak melatih
karakter melainkan tabiat. Namanya saja sekolah, tapi justru telah jadi lembaga
yang paling efektif dan efisien dalam merusak moral dan mental anak didik.
Moral dan mental anak indonesia tercinta.
Apakah
ini yang menjadi fenomena sekarang?. Siswa tidak nyontek tidak gaul katanya.
Saat bekerja, tidak korupsi tidak gaul jadinya. Siswa yang tidak memberi
contekan dikucilkan. Di kantor yang tidak ikut korupsi juga dikucilkan dan jadi
orang berbahaya. Siswa yang lapor temannya mencontek, ditertawai malah diancam
dan bisa dipukuli. Sekarang siapa yang melapor ada korupsi, bukan hanya babak
belur, bisa-bisa nasibnya akan tragis.



1 comments:
benar sekali, tapi bagaimana solusi untuk memecahkan masalah tersebut?
Post a Comment