Pembahasan
probelmatika internal lebih didahulukan dari pada pembahasan problematika
eksternal karena problem terberat bagi semua jamaah dakwah adalah kendala
internal. Ketika problematika internal sudah diselesaikan/dikelola dengan baik,
maka amanah dakwah lebih mudah ditunaikan dan problematika eksternal lebih
mudah diselesaikan.
Problematika
internal yang sering dijumpai dalam jamaah dakwah adalah gejolak kejiwaan,
ketidakseimbangan aktifitas, latar belakang dan masa lau, penyesuaian diri, dan
friksi internal.
Gejolak kejiwaan
sebenarnya merupakan persoalan yang dimiliki oleh semua manusia biasa. Dan yang
perlu disadari adalah para aktivis dakwah juga manusia biasa. Gejolak ini tidak
bisa dimatikan sama sekali, tetapi perlu dikelola dengan baik agar tidak merugikan
dakwah dan aktifis dakwah.
Diantara gejolak
kejiwaan itu adalah: Pertama, gejolak syahwat. Banyak orang yang terpeleset
oleh gejolak ketertarikan pada lawan jenis ini. Bagi mereka yang belum menikah,
gejolak ini biasanya lebih besar dan lebih berpeluang “menggoda.” Kedua,
gejolak amarah. Seperti kisah Khalid saat menghadapi Jahdam dan pemuka bani
Jazimah, gejolak amarah ini bisa berakibat fatal termasuk bagi citra dakwah,
hubungan antar aktifis dakwah, dan terjadinya fitnah diantara kaum muslimin. Ketiga,
gejolak heroisme. Semangat heroisme memang bagus dan sangat perlu, tetapi
ketika sudah tidak proporsional ia akan mendatangkan sikap ekstrem yang
berbahaya bagi kemaslahatan dakwah dan umat. Kasus pembunuhan terhadap Nuhaik
yang dilakukan Usamah bin Zaid adalah contohnya. Keempat, gejolak kecemburuan.
Seperti kecemburuan Anshar pada para mualaf yang mendapatkan hampir semua
ghanimah perang Hunain, sikap ini bisa berefek pada melemahnya soliditas
internal jamaah. Meskipun yang dicemburui oleh Anshar sebenarnya adalah
perhatian Rasulullah dan bukan materi ghanimah-nya, gejolak ini segera
diselesaikan Rasulullah karena jika dibiarkan bisa berdampak negatif.
Ketidakseimbangan
aktifitas juga menimbulkan problematika tersendiri. Ketidakseimbangan antara
aktifitas ruhaniyah dengan aktifitas lapangan, ketidakseimbangan antara dakwah
di dalam dengan di luar rumah tangga, ketidakseimbangan antara aktifitas
pribadi dengan organisasi, ketidakseimbangan antara amal tarbawi dengan amal
siyasi, ketidakseimbangan antara perhatian terhadap aspek kualitas dengan
kuantitas SDM; semuanya bisa berakibat negatif. Tawazun atau kesimbangan yang
merupakan asas kehidupan, juga harus dipraktikkan dalam kehidupan berjamaah dan
oleh semua aktifis dakwah.
Latar belakang
dan masa lalu aktifis yang buruk bisa pula menjadi problematika internal dakwah
jika tidak dilakukan langkah-langkah solutif. Latar belakang keagamaan
keluarga, misalnya. Ia bisa berbentuk lemahnya tsaqafah Islam, tekanan keluarga
yang menentang aktifitas dakwah, dan kerancuan dalam orientasi kehidupan.
Sedangkan masa lalu yang “jahiliyah” bisa membawa dampak yang kurang
menguntungkan bagi kredibilitas sang aktifis dakwah. Solusi atas problem ini
terangkum dalam kata “mujahadah.” Bagaimana seorang aktifis melakukan muhasabah,
menyadari kelemahannya dan melakukan perbaikan diri. Masa lalu memang tidak
bisa diubah, tetapi pengaruhnya bisa dikendalikan.
Problematika
internal yang keempat adalah penyesuaian diri. Yakni penyesuaian diri terhadap
karakteristik pendekatan dan sikap dakwah yang melekat pada masing-masing
marhalah dan orbit dakwah. Sebagaimana corak dakwah yang berbeda antara fase
Makkiyah dan Madaniyah, bahkan masa sirriyah dan jahriyah pada fase Makkah yang
juga berbeda, dakwah saat ini juga mengalami hal yang sama; ada tahap-tahapnya.
Antara mihwar tanzhimi yang berkonsentrasi pada konsolidasi internal dan mihwar
muassasi yang konsen pada perjuangan politik membuat beberapa kader dakwah
tidak mampu menyesuaikan diri. Hambatannya bisa karena sifat “kelambanan” kemanusiaan,
kecenderungan jiwa, keterbatasan dan perbedaan tsaqafah, sampai keterbatasan
kapasitas. Untuk mengatasi problem ini dibutuhkan peran kelembagaan dakwah.
Jamaah dakwah perlu melakukan persiapan perubahan fase dakwah,
mensosialisasikan cara pandang yang disepakati tentang batas-batas pengembangan
dakwah sehingga jelas mana yang termasuk pengembangan (tathwir) dan mana yang
termasuk penyimpangan (inhiraf). Jamaah dakwah juga harus mendefinisikan mana
yang asholah dan tsawabit, serta mana yang mutaghayyirat.
Problem internal
kelima adalah friksi internal. Friksi ini bisa timbul dari lingkungan yang
kecil seperti intern sebuah lembaga dakwah, atau antarlembaga, atau
antarpersonal pendukung dakwah. Banyak gerakan dakwah yang harus tutup usia dan
kini tinggal nama karena problematika ini. Friksi dalam sejarah dakwah memberi
beberapa pelajaran penting bagi kita: bahwa friksi merupakan indikasi kelemahan
proses tarbiyah, friksi menandakan adanya kelemahan dalam penjagaan diri para
aktifis dakwah, restrukturiasi dakwah tepat dilakukan terhadap orang-orang yang
telah memahami karakter dakwah itu sendiri, friksi juga bukti keberadaan ego
manusia, penumbuhan al-wa’yul islami (kesadaran berislam) dan al-wa’yu
ad-da’awi (kesadaran dakwah) lebih utama dibandingkan sekedar meletupkan
hamasah (semangat) bergerak, dan sangat mungkin friksi timbul karena hadirnya
pihak ketiga yang sengaja “memecah” jamaah.



0 comments:
Post a Comment