Kenduri
demokrasi pemilu legislatif yang diselenggarakan 9 April lalu, sesungguhnya
telah memercikkan semacam pseudo-analisis perpolitikan nasional yang intens dan
menarik untuk dikerling. Pengerlingan kita berkisar pada pragmatisme politik
kekuasaan yang dipertontonkan oleh para petarung di jalan kekuasaan, dengan
cara membodohi rakyat, yang tercermin dari aneka janji kampanye yang kerap
diselipi dengan uang untuk membeli suara rakyat.
Rakyat pun sebenarnya sudah tahu bahwa politik uang adalah suatu
permainan politik yang tidak etis dan minus moral, dus janji-janji kampanye
yang setinggi langit hanyalah pembodohan terhadap dirinya, karena secara nalar
dan logika politik, segala janji surga dan jual kecap manis itu mustahil
implementasinya. Rakyat pun sebenarnya sudah yakin juga bahwa nasibnya seperti
pada pemilu-pemilu sebelumnya, yakni bahwa dirinya segera dikhianati dan
ditinggalkan oleh para politisi setelah kursi kekuasaan diraih dan ambisi
politiknya dipenuhi.
Pertanyaan, sampai kapan kemiskinan dan hidup kaum miskin hanya
dijadikan tema klasikal kampanye dan alat legitimasi politik kekuasaan? Atau,
bagaimanakah agar rakyat yang sebenarnya memiliki kekuasaan tertinggi negeri
ini tidak terus-menerus bisa dibodohi oleh elite, pemimpin dan parpol?
Pertanyaan ini dapat dijawab hanya dengan berpijak pada apa yang dinamakan
pendidikan politik untuk rakyat.
Pendidikan politik
Untuk menghindari diri dari berbagai upaya pembodohan terhadap
rakyat yang dilakukan oleh para elit politik dan parpol, maka pendidikan
politik menjadi suatu kebutuhan mutlak. Dan untuk menggapai sebuah pendidikan
politik yang diinginkan, maka tingkat kecerdasan masyarakat harus ditingkatkan
lewat proses-proses pendidikan yang baik. Pendidikan rakyat atau masyarakat
pada umumnya harus dikembangkan secara terus-menerus di mana pendidikan itu
sendiri merupakan suatu laboratorium pencerdasan manusia dus sebagai sarana
untuk menumbuhkan kesadaran reflektif masyarakat. Sulitnya masyarakat menerima
pendidikan politik yang disodorkan oleh partai politik atau kaum elite politik,
hanya karena tingkat kecerdasan masyarakat pada umumnya lemah atau sangat
minim.
Mengapa dan bagaimana hal ini dielaborasi lebih lanjut? Ingat
bahwa dunia pendidikan merupakan agen sosialisasi dan pemberi pengaruh terhadap
pribadi, sistem sosial dan politik, atau sekolah sebagai agen pendidikan
politik bagi peserta didik. Ini bertalian dengan pendidikan politik yang kerap
dipahami sebagai proses pembelajaran politik (political learning) atau sosialisasi politik (political socialization) tidak lain sebagai proses pembentukan
dan pengembangan sikap dan perilaku politik. Atau, pendidikan politik merupakan
revitalisasi pemahaman tentang kehidupan politik dan segala praktek kekuasaan
yang dilakoni kaum elit politik.
Bahkan, sebagaimana digemakan oleh para filsuf Yunani klasik,
seperti Aristoteles pendidikan itu sendiri adalah politik atau politis (to govern),sebagai dua hal
yang menyatu dalam kesatuan. Ini kemudian diteruskan oleh filsuf John Lock yang
mengatakan, pendidikan adalah politik, karena pendidikan merupakan hasil dari
keputusan-keputusan politik. Dalam masyarakat modern, pendidikan dipahami
sebagai a public or mere good yang ditetapkan berdasarkan keputusan
politik. Sebuah pemahaman yang tidak berbeda jauh dari ahli pendidikan Asia,
Paulo Freire (1984), yang mengatakan pendidikan merupakan proses penyadaran
terhadap struktur sosial politik dan pembebasan, dus sebagai pengintegrasian
antara melek huruf dengan kesadara sosial dan struktural.
Itulah kemudian secara luas dan mendasar dikatakan bahwa
pendidikan politik merupakan suatu upaya penumbuhkembangan rasa
solidaritas-seperasaan, dengan komitmen yang tinggi terhadap kelompok
masyarakat yang tidak berdaya (tertindas) dan meningkatkan kemampuan untuk
melakukan aksi protes terhadap berbagai bentuk ketidakadilan yang dibangun oleh
kebijakan-kebijakan politik. Artinya, pendidikan politik diarahkan untuk
meningkatkan pemahaman terhadap kehidupan politik dengan seluruh kebijakan
dalam tata kelola negara.
Dalam kaitan dengan ini, pendidikan politik, bukan hanya sebatas
memberi pemahaman seputar perebutan kekuasaan di mana politik senantiasa
dikaitkan dengan kekuasaan, seperti tentang sejauh mana pemilu dilaksanakan dan
berapa kursi di DPR, siapa caleg dan capre/cawapres dan seterusnya, melainkan
lebih pada bagaimana seharusnya politik itu sendiri dilakoni dan dikerjakan.
Termasuk di dalamnya adalah bagaimana kekuasaan harus diraih secara etis dan
dikelola dengan rasa tanggung jawab moral yang tinggi, serta sejauh mana
mengimplementasikan segala janji politik yang telah digelontorkan pada musim
kampanye.
Dengan demikian, rakyat pun dalam mengikuti pemilu, khususnya
dalam menentukan caleg atau capres mana yang harus dipilih, bukan berdasarkan
pada penilaian-penilaian subyektif hanya karena memiliki keterkaitan emosional,
seperti kekerabatan dan pertemanan, tetapi benar-benar pada penilaian obyektif,
yaitu karena kemampuan atau kecerdasan intelektual dan kemelekan nurani serta
keagungan moralnya dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan.
Praktek pendidikan politik
Sejauh ini yang kita lihat adalah sangat minimnya pendidikan
politik. Tidak adanya profesionalismenya KPU dalam menyelenggarakan pemilu
hingga banyaknya warga yang tidak ikut memilih hanya karena tidak masuk dalam
daftar pemilih tetap (DPT), tidak lain adalah cermin dari ketiadaan pendidikan
politik. Kampanye politik yang mempertontonkan aksi balas dendam juga
menunjukkan suatu jenis pendidikan politik yang kurang bagus. Termasuk di
dalamnya adalah politik uang yang sangat membutakan rasionalitas rakyat dalam
menentukan pilihan-piluhan politiknya. Sebab, dalam memilih, diharapkan rakyat
memiliki pertimbangan rasional yang berhubungan dengan hakikat pemilu dan
demokrasi.
Pertanyaan, siapa yang melaksanakan pendidikan politik? Pada
masa otoritarian Orde Baru, pendidikan politik langsung digunakan oleh
pemerintah lewat program P4. Maka, dalam era demokratis ini, tentu yang
diandalkan adalah partai politik. Parpol harus merasa terpanggil untuk
mengembangkan pendidikan politik di tengah mayarakat, selain melakukan
perekrutan politik serta menjalankan fungsi artikulasi kepentingan dan agregasi
politik.
Dan pendidikan politik oleh partai politik saat ini telah
mencapai titik urgernsinya dalam proses internalisasi nilai politik yang
berguna bagi pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara, terutama di tengah
pemahaman dan praksis politik rakyat yang sangat pragmatis. Pragmatisme politik
yang begitu menyengat publik telah membuat mereka dalam menghadapi kampanye
politik, bukan sebagai suatu perjuangan bersama dalam menyukseskan pemilu dan
memenangkan figur demi perbaikan nasib bangsa ke depan, tetapi lebih mengharapkan
imbalan-imbalan langsung seperti uang atau berbagai jenis bantuan materi
lainnya.
Pertanyaan akhir, bukankah pragmatisme politik seperti itu
sangat mematikan kreativitas politik dan melumpuhkan kemajuan masa depan
bangsa? Inilah pertanyaan reflektif yang jawabannya telah mencapai tahap
urgensinya pula.
Penulis, Direktur Social Development Center
0 comments:
Post a Comment